Jumat, 02 November 2012

Hermeneutika Menurut Gadamer



Summary : “Hermeneutika Gadamer”

Hans-Georg Gadamer dilahirkan di kota Breslau pada 11 Februari 1900. Ketertarikan Gadamer pada filsafat sempat ditentang oleh ayahnya yang berprofesi sebagai seorang profesor kimia di sebuah universitas. Menurut ayah Gadamer, filsafat, kesusastraan, dan ilmu-ilmu humaniora pada umumnya bukan merupakan ilmu pengetahuan yang serius. Akan tetapi, Gadamer tidak mendengar perkataan ayahnya. Ia berpegang teguh pada pilihannya untuk memperdalam filsafat. Tetapi sayang, sang ayah yang tidak merestui pilihan sang anak tidak sempat menyaksikan keberhasilan Gadamer sebagai seorang filsuf, karena sudah meninggal pada tahun 1928, Setelah Gadamer melewati petualangan filosofis yang  panjang dan melelahkan akhirnya Gadamer meninggal di kota Heidelberg pada 13 Maret 2002 di usia 102 tahun.

Istilah hermeneutika filosofis (philosophical hermeneutics) dipilih Gadamer untuk menyebut pemikirannya secara umum, karena dia ingin mengetengahkan sebuah hermeneutika yang memiliki relevansi ‘filosofis’. Konsekuensinya adalah seluruh interpretasi, termasuk interpretasi diri, dan seluruh riset di ranah sejarah filsafat, sesungguhnya adalah filsafat itu sendiri.

Gadamer melakukan beberapa analisa persiapan (pre conditions) untuk mencapai landasan fundamental-ontologis bagi hermeneutika filosofis, yaitu: pertama, analisa tentang konsep permainan dengan kesimpulan bahwa bukan pemain yang memainkan permainan, melainkan permainan yang memainkan pemain. Kedua, kesadaran diri seorang individu yang mengetahui makna secara reflektif dan menganggapnya objektif, hanyalah letupan sesaat dalam sirkuit kehidupan historis yang tertutup. Sebaliknya, hidup menyejarah sesungguhnya adalah menyadari bahwa pengetahuan tentang diri sendiri itu tidak akan pernah utuh dan sempurna, sebab berangkat dari dari apa yang secara historis sudah begitu adanya (pre given), yaitu apa yang disebut Hegel dengan ‘substansi’. Substansi ini adalah basis bagi makna dan sikap subjektif yang membatasi setiap pemahaman atas tradisi. Ketiga, agar sampai pada titik peralihan ontologis adalah langkah kembali kepada ‘substansi’, sebagaimana yang dimaksud Hegel itu. Dengan adanya peralihan ontologis, substansialitas kehidupan historis akan menemukan validitasnya.

Inti dari hermeneutika Gadamer adalah keyakinannya bahwa proses memahami (interpretasi) secara ontologis tidak menemukan dirinya dalam bentuk-bentuk metodis melainkan dalam bentuk dialektika. Dalam hal ini metode diartikan sebagai struktur yang cenderung menyederhanakan proses penafsiran, manipulatif, dan stagnan untuk memudahkan tindakan-tindakan yang ilmiah (claim). Sebaliknya, dialektika justru membuka ruang bagi kebebasan dalam proses tanya jawab sehingga memungkinkan proses penemuan kebenaran berlangsung secara kontinyu bagi ilmu-ilmu kemanusiaan terutama seni dan kesusastraan.

Terkait dengan bahasa, Gadamer berpendapat bahwa proposisi tidak dapat dianggap sebagai tanda linguistik yang final melainkan hanya bersifat sementara. Proposisi hanya menghadirkan terjemahan (interpretasi) yang tak utuh, dan karena itu kita harus terus terlibat dengan tuturan-tuturan berikutnya agar dapat menangkap seluruh persoalan yang ada. Kebenaran proposisi bukan terletak di dalam dirinya atau dalam tanda aksidental dari momen tertentu, akan tetapi di dalam keseluruhan yang dibukakan oleh proposisi tersebut. Pada dasarnya Gadamer mendebatkan pembakuan pemikiran filosofis dalam tradisi barat yang mendasarkan kebenaran teoritisnya pada ‘logika proposisional’, berlawanan dengan tradisi hermeneuitisnya yang menganggap bahasa menuntaskan dan menyempurnakan dirinya dalam dialog.

Pada dasarnya proses interpretasi hermeneutika Gadamer tidak hanya membatasi interpreter untuk menafsirkan teks ‘sedekat’ mungkin dengan pembuat teks (merekonstruksi makna) melainkan memberikan keleluasaan untuk menafsirkan teks itu berdasarkan pengalaman-pengalaman yang dimilikinya (mereproduksi makna). Pada tataran ini teks dianggap sebagai subjek yang hidup, memungkinkan dirinya untuk ditafsirkan jauh melewati kehendak penulisnya. Dalam proses penafsiran terjadi interaksi antara penafsir dengan teks, dimana penafsir mempertimbangkan konteks historisnya (teks) bersamaan dengan tradisi, kepentingan praktis, bahasa, maupun budaya si penafsir.


Komentar 
Zaman terus berubah dan berkembang begitu juga dengan dunia hermeneutika, Secara Umum dunia hermeneutika  adalah dunia penafsiran dan pemahaman yang juga ikut terus berkembang bersama zaman yang melingkupinya, jika kita sebelumnya telah mengenal hermeneutika Schleiermacher yang mana beliau juga dikenal sebagai bapak hermeneutika dan yang selanjutnya adalah Gadamer seorang tokoh hermeneutika generasi selanjutnya yang termasuk pengagum Schleiermacher dan Dilthey, dan pemikirannya banyak dipengaruhi oleh Schleiermacher dan Dilthey, tetapi juga Gadamer  banyak memberikan kritik terhadap pemikiran dua tokoh romantik ini. Gadamer keberatan dengan pendapat Schleiermacher dan Dilthey yang menerangkan bahwa hermeneutik bertugas menemukan makna asli sebuah teks. Menurut Gadamer, interpretasi tidak sama dengan mengambil suatu teks lalu mencari makna yang dikehendaki oleh pengarang teks tersebut. Bagi Gadamer, arti suatu teks tetap terbuka dan tidak terbatas pada maksud pengarang teks tersebut. Karena itu, interpretasi tidak bersifat reproduktif belaka, tetapi juga produktif.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar