A.
Sekilas Tentang Tokoh Riffat Hassan
Riffat Hassan feminis Muslimah
kelahiran lahore, Pakistan. Belum didapat infomasi yang jelas tentang kapan
Riffat dilahirkan kecuali bahwa ia berasal dari keluarga Sayyid kelas atas dan
ia adalah salah seorang putri dari sembilan bersaudara, saudaranya terdiri atas
lima laki-laki dan tiga perempuan. Ayahnya yang biasa dipanggil “Begum Shahiba”
adalah patriarkh di daerah itu. Sangat dihormati dan sekaligus sangat
tradisional pandangannya. Sementara ibunya merupakan adalah anak dari seorang
penyair, dramawan dan ilmuwan terkemuka, Hakim Ahmad Shuja.
Riffat dibesarkan dalam keluarga
yang sangat tradisionalis dan patriarkhi sejati, yang mempunyai
pandangan bahwa bagi gadis adalah menikah di usia 16 tahun dengan pilihan orang
tuanya. Sebaliknya ibunya, yang menetang pandangan tradisionalis yang dianut oleh ayahnya. Dan perbedaan
pandangan orang tuanya itulah yang membuat Riffat gelisah dan menarik diri dari
hiruk-pikuk keluarga, sehingga sering menyendiri dalam kamar untuk baca dan
membuat puisi.
Riffat berani memberontak terhadap
ayahnya sebagai patriakhi yang sangat tradisionalis. Semua perjuangan Riffat
untuk memberontak pada ayahnya tak luput dari dorongan sang ibu untuk terus
melawan sistem patriarkhi yang dianut ayahnya. Bagi Riffat Hassan. Ibunya
adalah orang yang sangat berpengaruh dalam keberhasilan studinya, karena telah
mendorong untuk menjadi pribadi sendiri. Riffat tidak pernah merasakan kasih
sayang selayaknya seorang ibu terhadap anaknya, karena ibunya hanya menyukai
keberhasilannya saja, tidak pada diri pribadinya.
Dari pengalaman di amasa kecil
itulah yang memicu baginya untuk mengkaji persoalan ketidakadilan gerder secara
akademis. Apalagi pendidikan Riffat sangat mendukung untuk meneliti hal
tersebut. Sebagai akademis, ia memiliki kesempatan untuk menyaksikan kondisi
umat Islam dunia tentang ketidak adilan gender. Kegelisahan pada anak-anak
berlanjut kemasa dewasa dimana ketika meneruskan studinya ke Inggris. Riffat
Hassan mengalami kegelisahan akademis dan teologis ketika menyaksikan para
perempuan muslim kehilangan hak-hak kemanusiaan dan keislaman mereka. Persoalan
ini muncul seiring dengan kuatnya budaya patriarkhi di kalangan umat
Islam. Pengalaman seperti inilah yang dirasakan Riffat ketika memutuskan
menikah dengan lelaki yang juga korban budaya patriarkhi. Perkawinannya
dengan Dawar harus berakhir saat dikaruniai seorang putri bernama Mona. Dan
putrinya inilah Riffat mempunyai keyakinan untuk terus maju. Kekecewaan Riffat
terus bertambah ketika harus menikah lagi dengan Mahmoud seorang laki-laki
Muslim Arab yang menganut sistem patriarkhi yang selalu memakai nama Tuhan dalam
segala perbuatanya. Perkawinannya ini juga tidak bertahan lama.
Dari perjalanan hidup Riffat yang
seprti itulah. Ia terdorong untuk membantu perempuan Muslim yang berada dibawah
kekuasaan patriarkhi. Riffat merasa bahagia karena keinginannya untuk
mengeluarkan perempuan dari keterkungkungan laki-laki dengan berusaha
menafsirkan al-Quran dengan secara sistematis dan persfektif non-patriarkhi
dapat dorongan para anggota komisi status perempuan Pakistan dengan mengupas
satu persatu untuk dibuktikan kepada masyarakat pakistan bahwa perempuan tidak
selamanya menjadi sekunder, subordinatif dan inferior terhadap
laki-laki.
Riffat mempunyai keyakinan bahwa
laki-laki yang diciptakan setara oleh Allah. Dikemudian hari tidak bisa menjadi
tidak setara, begitu juga sebaliknya Al-Quran tidak memandang kedudukan
perempuan lebih rendah dibanding laki-laki, keduanya mempunyai kedudukan yang
sama. Diskriminasi dan segala ketidakadilan gerder yang menimpa perempuan dalam
lingkuangan umat Islam meneurtnya berakar dari pemahaman yang keliru terhadap
sumber utama ajaran agama Islam yaitu al-Quran.
Mulai tahun 1974 ia mempelajari teks Al-Quran
secara seksama dan melakukan interpretasi terhadap ayat-ayat Al-Quran khususnya
yang berhubungan dengan persoalan perempuan. Ia memberikan sumbangan besar
terhadap gerakan perempuan di Pakistan.[2]
Debut awal ketertarikannya pada
masalah feminisme terjadi pada tahun 1983-1984 ketika ia terlibat dalam satu
proyek penelitian di Pakistan. Ketika itu masa pemerintahan Ziaul Haqq dan
Islamisasi sedang dimulai. Pertanyaan yang timbul di benaknya pada waktu itu,
mengapa kalau satu negara atau pemerintahan mulai melakukan Islamisasi,
tindakan pertama yang dilakukan adalah memaksa perempuan kembali masuk rumah,
menutup seluruh tubuh mereka, memberlakukan peraturan dan undang-undang yang
mengatur tingkah laku individu, terutama perempuan? Dia kemudian mempelajari
teks al-Qur‟an secara serius dan mendalam dan akhirnya melihat perlunya
reinterpretasi.
Pendidikan tingginya ditempuh di
Inggris di St. Mary‟s College University of Durham. Riffat berhasil
menyelesaikan studinya di bidang sastra Inggris dan filsafat dalam waktu tiga
tahun dan meraih predikat cumlaude. Riffat sudah mengantongi gelar
doktornya dengan desertasinya tentang filsafat Muhammad Iqbal seorang pemikir
Pakistan modern yang dikaguminya dalam usianya yang relatif muda, 24 tahun. Karir intelektual Riffat mulai menampakkan
kemantapannya sejak ia menetap di Amerika Serikat pada tahun 1976. Di negara
ini, ia menduduki jabatan sebagai Ketua Jurusan Religious Study Program di
University of Lousville, Kentucky. Selain itu, ia juga menjadi dosen tamu di
Harvard Divinity School. Pada saat menjadi dosen tamu inilah ia berhasil
menyelesaikan karyanya Equal Before Allah yang di dasarkan pada risetnya
selama setahun (1986-1987). Ia juga menjabat sebagai penasehat guru besar
Perhimpunan Mahasiswa Muslim di University Oklahoma, Stillwater.
Adapun karya-karya Riffat Hassan
yang Semua karyanya berbentuk artikel.
Yang banyak Riffat tulis dari hasil karya-karya itulah Riffat Hassan diakui
oleh banyak kalangan, sebagai pemikir feminis yang telah memberikan kontribusi
besar terhadap gerakan feminisme di Pakistan. Diantara karya-karyanya yaitu :
1. Equal Before Allah? Woman- Men in
The Islamic Tradition (1987)
edisi Indonesia di. Terj. Wardah Hafidz.
2. The Role and Responsiblites of Women
in the Legal Ritual Tradition of Islam/ Shari’ah (1980).
3. Muslim Woman and Post Patriarchal
Islam (1991).
4. The Issue of Woman-Men Equality in
Islamic Tradition (1991).
5. Jihad fi Sabilillah: A Muslim Woman’s
faith Journey From Struggle to Sruggle.
6. Muslim Woman and Post-Patriarchal
Islam.
7. Women’s and Men’s Liberation dll.
Segingga terlepas dari
kontroversinya yang ada, dari karya-karya ilmiah yang ditulisnya dan perjalanan
kerier intelektualnya, menunujukan bahwa Riffat Hassan merupakan sosok pemikir
perempuan yang kreatif, progresif dan produktif. Tidaklah berlebihan jika
kemudian Riffat Hassan juga disebut sebagai seorang reformis pemikiran Islam di
bidang Isu-Isu gender.
B.
Pokok-Pokok Pemikiran Riffat Hassan
1.
Pendekatan dan Metode yang dipakai oleh Riffat Hassan
Sebagai seorang tokoh pembaharu dalam dunia islam, riffat hasan
mempunyai beberapa pokok-pokok pemikiran. Banyak pemikiran beliau yang bertolak
belakang dengan para ulama sebelumnya. Karena latar pendidikannya dan kondisi
masyarakat yang patriarkhi, maka beliau berusaha memperjuangkan hak-hak yang
harus di dapat oleh perempuan. Maka dari itu, beliau termasuk tokoh feminis
muslim.
Menurut beliau, diskriminasi dan segala macam bentuk ketidakadilan
terhadap gender yang menimpa kaum perempuan dalam lingkungan umat islam berakar
dari pemahaman yang keliru dan bias laki-laki terhadap sumber utama ajaran
islam yaitu al-qur’an. Maka dari itu, beliau mulai membuat dekonstruksi pemikiran
teologis tentang perempuan, terutama mengenai tema tentang penciptaan hawa
sebagai perempuan pertama yang diciptakan oleh Allah.
Untuk memahami lebih jelas mengenai pemahaman beliau tentang
teologi feminisme, maka hal ini dapat terlihat dari tulisan beliau dalam
bukunya yang berjudul setara di hadapan Allah, Relasi laki-laki dan perempuan
dalam tradisi islam pasca patriarkhi yang diterjemahkan oleh team LSPPA
Yogyakarta.
Kendati pun ada perbaikan-perbaikan secara statistik seperti
hak-hak pendidikan, pekerjaan dan hak-hak sosial serta politik, perempuan akan
terus menerus diperlakukan dengan kasar dan didiskriminasi, jika landasan
teologis yang melahirkan kecenderungan-kecenderungan yang bersifat misoginis
dalam tradisi islam tersebut tidak dibongkar. Banyaknya jaminan hak-hak
sosial-politik perempuan tidak akan berarti apa-apa, jika mereka dikondisikan
untuk menerima mitos-mitos yang digunakan oleh para teolog atau
pemimpin-pemimpin keagamaan untuk membelenggu tubuh, hati, pikiran dan jiwa mereka;
mereka tidak akan pernah berkembang sepenuhnya atau menjadi manusia seutuhnya,
manusia yang bebas dari rasa ketakutan dan rasa bersalah, bisa berdiri sejajar
dengan laki-laki dalam pandangan Tuhan. Menurut saya, saat ini kita harus
mengembangkan apa yang disebut oleh orang Barat sebagai teologi feminis dalam
konteks islam dengan tujuan untuk membebaskan bukan hanya perempuan Muslim tapi
juga laki-laki Muslim dari struktur-struktur dan undang-undang yang tidak adil
yang tidak memungkinkan terjadinya hubungan yang hidup antara laki-laki dan
perempuan.
Konsepsi gender yang keliru juga berakibat pada ketidakadilan
gender. Terutama karena gender dipahami sebagai sifat yang alami dan kodrati.
Padahal konsep gender itu sendiri, merupakan hasil konstruksi sosialdan
kultural sepanjang sejarah manusia, bukan bersifat kondrati. Perbedaan gender
dibentuk oleh banyak hal. Hal inilah yang membentuk dan coba dikritisi oleh
Riffat Hassan. Terutama mengenai interpretsi terhadap ajaran keagamaan.
Riffat Hassan dalam membangun teologi feminisme menggunakan dua
pendekatan yaitu: pertama, pendekatan ideal-normatif. Pendekatan ini ditempuh
untuk melihat bagaimana al-qur’an menggariskan prinsip-prinsip ideal-normatif
tentang perempuan. Contohnya bagaimana seharusnya perempuan menurut al-qur’an dalam tingkah
laku, relasi dengan Tuhan, dirinya dan orang lain. Kedua, pendekatan empiris.
Pendekatan ini bertujuan untuk melihat realitas sosio historis secara empirik
yang terjadi pada perempuan. Sebagai contohnya, bagaimana seorang memandang
dirinya dan orang lain dalam masyarakat islam.
Hal inilah yang membuat Riffat Hassan mempunyai keinginan untuk
mencari dan mengkaji secara konprehensif terhadap teks-teks keagamaan yang
mengandung feminisme. Selain itu juga, beliau menawarkan kontruksi metode
penafsiran baru untuk memahami teks-teks yang mengandung unsur-unsur feminisme,
yaitu metode historis-kritis-komparatif. Cara kerja metode ini menggunakan tiga
prinsip, yaitu: pertama, melakukan analisi semantik dengan memeriksa ketetapan makna
kata atau bahasa dari berbagai kata-kata kunci yang terdapat dalam satu ayat,
lalu menetapkan artinya berdasar sejarah kata dan akar katanya untuk
dibandiingkan dengan realitas yang terjadi. Kedua, melakukan pengujian atas
konsistensi filosofis dari penafsiran-penafsira yang telah ada. Ketiga, prinsip
etis dengan didasarkan pada prinsip keadilan yang merupakan pencerminan dari
Justice of God.
Ketiga prinsip metodologis tersebut dapat dipahami sebagai berikut:
pertama, mencari makna kata yang sebernarnya yang terkandung dari akar kata
tersebut, kemudian menempatkan makna yang ssebenarnya tersebut sesuai denga
konteks masyarakat saat itu. Sebagai implikasi dari metode tersebut, Riffat
Hassan menolak model penafsiran yang linguistic-literalistik. Karena setiap
kata dan ayat terdapat dalam al-qur’an mempunyai makna yang berbeda tergantung
konteks, lokus, dan tempusnya. Kedua, mengasumsikan bahwa kandungan al-qur’an
merupakan satu kesatuan yang antara satu ayat dengan ayat lain maknanya saling
menguatkan. Maka dari tiu isi al-qur’an tidak mungkin bertentangan. Tetapi
hanya pemahaman dari penafsir saja yang berbeda. Ketiga, prinsip etik ini
dijakan verifikasi terhadap hasil penafsiran tersebut. Artinya suatu penafsiran
bisa dikatakan sah atau benar jika sejalan dengan prinsip-prinsip nilai
keadilan. Sebaliknya, penafsiran itu dikatakan tidak sah atau batal dengan
sendirinya jika mengakibatkan penindasan kepada salah satu pihak atau bertentangan dengan prinsip-prinsip nilai
keadilan. Terkahir untuk menganalisis hasil dari ketiga metode ini, maka beliau
menggunakan metode komparasi dengan melakukan perbandingan terhadap teks-teks
yang lain, baik teks tersebut terdapat dalam al-qur’an, injil, tahmud.
Setelah beliau melakukan pencarian terhadap akar permasalahan teologi
dari permasalahan ketidaksetaraan antara laki-laki dan perempuan dalam tradisi
islam, maka beliau membawanya ke dalam dua wilayah yang sangat signifikan
menurut beliau. Kedua wilayah tersebut adalah pertama, menyadari bahwa kitab
shahihain mempunyai dampak yang sangat besar dalam penentuan hukum. Karena
kebanyakan umat muslim menganggap bahwa kiatab shahihain adalah kitab yang
otoritatif setelah al-qur’an. Maka dari itu, Riffat Hassan mulai mencari
hadits-hadits yang berisikan tentang perempuan dalam kitab tersebut.
Kedua, beliau melakukan pengkajian terhadap karya-karya yang dibuat
oleh para teolog baik teolog muslim, yahudi, maupun kristen. Selain itu juga,
beliau berusaha mencari sumber-sumber teologis yang terdapat pada
gagasan-gagasan dan sikap-sikap anti feminis yang terdapat dalam tradisi agama
masing-masing. Karena karya-karya mereka
suka dijadikan sumber setelah kitab suci.
Dari pencarian dua arah
tersebut, riffat hassan menemukan bahwa akar dari kepercayaan laki-laki lebih
superior daripada perempuan berdasarkan tiga asumsi teologis berikut ini:
pertama, bahwa Tuhan lebih dulu menciptakan laki-laki daripada perempuan.
Karena perempuan tercipta dari tulang rusuk laki-laki. Maka dari itu perempuan
diciptakan oleh Tuhan setelah laki-laki. Hal ini juga yang membuat perempuan
lebih derifatif dan sekunder secara ontologis.
Kedua, bahwa perempuan
adalah bukan laki-laki. Hal inilah yang menjadi penyebab utama man’s fall atau
terusir dari garden of eden. Maka dari itu, perempuan harus dipandang dengan
rasa benci, curiga dan jijik. Ketiga, bahwa perempuan tidak hanya diciptakan
dari tulang rusuk laki-laki tapi juga untuk laki-laki, yang membuat eksistensi
seorang perempuan semata-mata bersifat sebagai alat (intrumental) dan tidak
memiliki makna yang fundamental.
2.
Aplikasi Metodologi Penafsiran Riffat Hassan
Setelah sebelumnya penjang lebar membahas mengenai setting historis
riffat hassan beserta metodologi yang beliau tawarkan, maka pembahasan
selanjutanya mengenai beliau adalah mengenai aplikasi penafsiran beliau
terhadap ayat-ayat al-qur’an yang berhubungan dengan feminisme. Beliau berusaha
menafsirkan ayat-ayat tersebut karena beliau berfikir bahwa selama ini
kontruksi penafsiran al-qur’an cenderung di dominasi oleh kepentingan
laki-laki. Hal ini terlihat bahwa kebanyakan dari para mufasir adalah kaum
laki-laki dan jarang sekali perempuan.
Adapun dekonstruksi yang dilakukan oleh riffat hassan mengenai
tema-tema yang berkaitan dengan teologi feminisme diaplikasikan dalam
menafsirkan konsep penciptaan perempuan. Selain itu, beliau juga mencoba
merekontruksi ulang mengenai ayat-ayat poligami yang dianggap kebanyakan orang
bahwa pologami tersebut hanya untuk pemuas hawa nafsu kaum laki-laki. Demikian
pula mengenai jilbab dan cadar yang selama ini dianggap sebagai pengekang bagi
kaum perempuan. Diantara contoh aplikasi penafsiran beliau adalah sebagai
berikut :
a.
Konsep
penciptaan dan kesetaraan perempuan
Dalam diskursus feminisme, bahwa hal yang sangat signifikan
mengenai kesetaraan antara laki-laki dan perempuan adalah mengenai proses
penciptaan. Sebab adanya diskriminasi dan ketidaksetaraan gender yang menimpa
perempuan adalah dalam lingkup umat islam bermula dari penafsiran para mufasir
mengenai proses penciptaan.
Menurut riffat hassan, jika laki-laki dan perempuan diciptakan oleh
Tuhan setara, maka di kemudian hari kesetaraan tersebut tidak akan berubah
menjadi tidak setara. Begitu juga sebaliknya, jika laki-laki diciptakan oleh
Tuhan tidak setara dengan perempuan, maka di kemudian hari hal tersebut tidak
akan berubah. Hal inilah yang membuat riffat hassan mencoba merekonstruksi
ulang penafsiran para mufasir mengenai ayat-ayat penciptaan. Apakah benar bahwa
perempuan itu diciptakan dari tulang rusuk adam? Karena jika memang benar
perempuan itu diciptakan dari tulang rusuk adam, maka secara
ontologis-filosofis dan biologis hanyalah derivasi dan sebagai pelengkap saja.
Maksudnya, prempuan secara substansial permpuan tidak setara dengan
laki-laki.
Adapun ayat-ayat yang berkenaaan tentang penciptaan Hawa oleh Tuhan
tidak disebutkan secara jelas dan terperinci mekanisme penciptaannya. Diantara
ayat-ayat tersebut adalah:
.1يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي
خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا
رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ
وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا
Artinya : “hai sekalian manusia, bertaqwalah kepada Tuhanmu yang
telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dan dari padanya allah menciptakan
istrinya; dan daripada keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan
perempuan yang banyak. Dan bertaqwalah kepada allah yang dengan (mempergunakan)
nama-nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan
silaturrahmi. Sesungguhnya Allah senantiasa menjaga dan mengawasi kamu. (QS. An-nisa : 1)
3.
هُوَ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَجَعَلَ
مِنْهَا زَوْجَهَا لِيَسْكُنَ إِلَيْهَا فَلَمَّا تَغَشَّاهَا حَمَلَتْ حَمْلًا
خَفِيفًا فَمَرَّتْ بِهِ فَلَمَّا أَثْقَلَتْ دَعَوَا اللَّهَ رَبَّهُمَا لَئِنْ
آَتَيْتَنَا صَالِحًا لَنَكُونَنَّ مِنَ الشَّاكِرِينَ
Artinya “Dialah Yang meniptakan kamu dari diri yang satu dan
daripadanya Dia menciptakan istrinya, agar dia merasa senang kepadanya. Maka
setelah dicampurinya, istrinya mengandung kandungan yang ringan, dan teruslah
dia merasa ringan (beberapa waktu). Kemudian tatkala dia mersa berat, keduanya (suami-istri)
bermohon kepada Allah, Tuhannya seraya berkata: “ Sesungguhnya jika engkau
memberi kami anak yang sempurna, tentulah kami termasuk orang-orang yang
bersyukur”. (QS. Al-‘araf: 189).
4.
خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ ثُمَّ جَعَلَ مِنْهَا
زَوْجَهَا وَأَنْزَلَ لَكُمْ مِنَ الْأَنْعَامِ ثَمَانِيَةَ أَزْوَاجٍ
يَخْلُقُكُمْ فِي بُطُونِ أُمَّهَاتِكُمْ خَلْقًا مِنْ بَعْدِ خَلْقٍ فِي
ظُلُمَاتٍ ثَلَاثٍ ذَلِكُمُ اللَّهُ رَبُّكُمْ لَهُ الْمُلْكُ لَا إِلَهَ إِلَّا
هُوَ فَأَنَّى تُصْرَفُونَ
“Dia menciptakan kamu dari seorang diri, kemudian Dian jadikan
daripada istrinya dan Dia menurunkan untuk kamu delapan ekor yang berpasangan
dari binatang ternak. Dia menjadikan kamu dalam perut ibumu kejadian demi
kejadian dalam tiga kegelapan. Yang
berbuat demikian adalah Allah, Tuhan kamu, Tuhan Yang mempunyai kerajaaan tidak
ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia, maka bagaimana kamu dapat
dipalingkan? (QS. Az-zumar :6)
Walaupun ayat yang menyebutkan mengenai penciptaan Hawa ada banyak,
tetapi pada pembahasan kali ini akan dibahas mengenai QS. An- nisa:1. Karena
dalam ayat ini penciptaan mengenai Hawa diungkapkan secara jelas. Lagi pula,
dalam diskursus penafsiran feminisme yang digugat adalah penafsiran terhadap
QS. An-nisa:1.
Dalam ayat ini tidak disebutkan secara eksplisit nama Adam dan
Hawa, tetapi dalam ayat tersebut hanya diungkapkan dengan lafadz nafs wahidah
dan zaujaha. Namun dengan melihat ayat-ayat lain maupun hadits-hadits yang
berkaitan dengan ayat tersebut maka kebanyakan para mufasir menafsirkan kedua kata
tersebut adalah Adam dan Hawa. Sebut saja seperti ibnu katsir, al-qurtubi, dan
Muhammad bin jarir at-tabari menyamakan kata nafs itu dengan Adam.
Kontroversi yang sesungguhnya bukan pada siapa yang pertama
diciptakan, tetapi pada penciptaan Hawa yang dalam ayat tersebut diungkapkan
dengan kalimat wa khalaqa minha zaujaha. persoalannya adalah apakah Hawa
diciptakan dari tanah sama seperti penciptaan Adam atau diciptakan dari tulang
rusuknya Adam?. Kata kunci penafsiran yang kontroversial tersebut terletak pada
kata minha. Apakah kalimat tersebut menunjukkan bahwa untuk Adam
diciptakan istri dari jenis yang sama dengan dirinya atau diciptakan dari diri
Adam itu sendiri. Persoalan inilah yang menjadi inti perbedaan pandangan antara
para mufasir dan para feminisme muslim.
Riffat Hassan menolak denga keras pandangan bahwa hawa diptakan
dari tulang rusuk Adam, tapi juga mempertanyakan kenapa kata nafs wahidah
dipastikan Adam dan kata zaujaha adalah hawa. Padahal dalam bahasa arab, kata
nafs tidak menunjuk kepada laki-laki atau perempuan, tapi lebih bersifat
netral, bisa laki-laki atau perempuan. Begitu juga kata zauj, tidak bisa secara
otomatis diartikan istri. Karena kata ini juga bersifat netral artinya pasangan
itu bisa laki -laki atau perempuan.
Disamping kata zauj juga dikenal dengan istilah zaujah bentuk feminin dari kata
zauj.
Mengutip kamus Taj al-‘arus, Riffat menyatakan bahwa hanya
masyarakat Hijaz yang menggunakan istilah zaujuntuk menunjukkan istilah
perempuan. Lalu, riffat mepertanyakan kenapa al-qur’an yang secara meyakinkan
tidak hanya diperuntukkan bagi masyarakat Hijaz, menggunakan istilah zauj bukan
zaujah.
b.
Konsep
Jilbab
Sistem hijab atau purdah, secara
historis telah menjadi institusi kaum muslimin selama kurang lebih seribu
tahun. Ia berevolusi secara bertahap selama tiga abad pertama Islam awal dan
mapan secara penuh selama abad ke 10 dan ke 11 Masehi dengan dukungan
interpretasi kaum teolog dan fuqaha pada masa khilafah ‘Abbasiyah. Sejak itu
pula sistem purdah menjadi bagian integral dari masyarakat dan kebudayaan kaum
muslimin abad pertengahan. Akhirnya ia dianggap sebagai bagian yang tak
terpisahkan dari kehidupan kaum muslimin, sampai-sampai perempuan non Islam
seakan-akan bisa dipandang sebagai muslimah hanya karena memekai cadar (purdah).
Dalam pandangan riffat, masalah purdah
(cadar) sebenarnya merupakan masalah kompleks. Konsep purdah (cadar)
memang merupakan salah satu hal diskursus hangat dikalangan kaum feminis,
menurut Riffat, munculnya konsep purdah, bermula dari adanya suatu sistempembagian
dua wilayah dalam masyarakat Islam, wilayah privat yaitu rumah, dan wilayah
umum yaitu kerja. Perempuan berada di wilayah privat, sedangkan laki-laki
wilayah umum. Menurut asumsi umum masyarakat Islam, selama masing-masing pihak
berada di tempatnya, semua akan beres dan aman. Ini berarti sistem pemisahan
atau pemecilan segresi. Menurut pandangan umum masyarakat Islam, kedua jenis
kelamin itu harus dipisahkan dan pengaturan semacam ini dianggap paling tepat
dan paling baik.
Jika terpaksa perempuan harus
memasuki wilayah umum (wilayah laki-laki) karena alasan ekonomi sehingga ia
harus bekerja atau alasan mendesak lainnya, maka dia harus diberi tutup atau purdah,
sehingga walaupun dia ada, tapi
seakan-akan dia tidak ada. Dia ada tanpa muka, suara tanpa identitas. Dengan
kata lain, konsep purdah adalah sistem pemecilan dan pemisahan (segragation
system).
Setelah Riffat hassan menjelaskan
asumsi umum masyarakat Islam, dia lalu mencoba bagaimana pandangan al-Quran
tentang hal itu. Menurutnya, ideal moral yang dikehendaki al-Quran sebenarnya
adalah prinsip kesehajaan. Al-Quran snagt menekankan bahwa perempuan harus
bersahaja, bukan saja dalam berpakaian, tetapi juga dalam berbicara, berjalan,
bertingkah laku, dan lain sebagainya. Prinsip semacam ini juga dianjurkan
kepada lelaki, meskipun selanjutnya hal itu lebih banyak ditujukan kepada perempuan. Dalam hal ini menjadi bias
gendernya, jika dalam praktiknyaprinsip kesehajaan itu hanya ditekankan pada
perempuan. Hal itu tentu tidak diinginkan oleh Riffat Hassan. Sebab pandangan
tersebut terkesan masih “diskriminatif”. Seakan-akan perempuan yang dipojokkan
dalam masalah ini dan tubuh mereka seakan-akn dipandang sebagai sumber fitanh
bagi kaum laki-laki.
Dalam konteks ini fatima mernissi
dengan mengutip pendapat Murdock. Beliau membagi masyarkat menjadi dua kelompok. Pertama, mereka yang melakukan penghormatan terhadap
perempuan terhadap aturan seksual melalui internalisasi yang kuat terhadap
larangan seksual selama proses sosialisasi. Kedua, mereka melakukan
penghormatan tehadap aturan seksual melalui usaha pencegahan eksternal, seperti
aturan untuk tidak saling bertemu antara laki-laki dan perempuan, karena
masyarkat seperti ini gagal untuk menginternalilsasikan larangan seksual kepada
anggota masyarakatnya. Menurut murdock, barat termasuk kelompok pertama,
sedangkan pada masyarakat yang menerapkan aturan cadar, termasuk kelompok
kedua.
Hemet penulis[3],
pandangan Riffat Hassan tentang jilbab sebagai sebuah konsep yang menekankan berpakaian
bagi perempuan secara bersahaja, tidak bisa dilepaskan dari sejarah priklanan,
baik modern atau masa sebelumnya. Sejak berabad-abad, tubuh perempuan selalu
menjadi objek reklame. Boleh jadi ini disebabkan karena tubuh perempuan
diciptakan sedemikian indahnya, sehingga cocok unutk hal itu atau mungkin
karena dalam masyarakat patriarkhi perempuan selalu menjadi objek seks. Maka
al-quran memerintahkan kepada perempuan agar tidak berpakaian dan bertingkah
laku seperti objek seks, supaya orng tidak menuduhnyabahwa ia ingin diperlakukan
sebagai objeks seks.
Dalam konteks seperti itulah,
menurut Riffat, maka Nabi Saw. Disuruh memerintahkan istri-istrinya dan
kaumperempuan yang beriman, ketika akan meninggalkan rumah agar memakai purdah
(jilbab), supaya dianggap perempuan shaleh dan tidak di ganggu. Hal ini
sebagimana tersurat dalam surat al-ahzab [33]: 59:
$pkr'¯»t ÓÉ<¨Z9$# @è% y7Å_ºurøX{ y7Ï?$uZt/ur Ïä!$|¡ÎSur tûüÏZÏB÷sßJø9$# úüÏRôã £`Íkön=tã `ÏB £`ÎgÎ6Î6»n=y_ 4 y7Ï9ºs #oT÷r& br& z`øùt÷èã xsù tûøïs÷sã 3 c%x.ur ª!$# #Yqàÿxî $VJÏm§ ÇÎÒÈ
59. Hai Nabi, Katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak
perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: "Hendaklah mereka mengulurkan
jilbabnya ke seluruh tubuh mereka". yang demikian itu supaya mereka lebih
mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. dan Allah adalah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang.
Implikasi dari ayat tersebut adalah
bahwa al-Quran sama sekali tidak melarang perempuan untuk keluar rumah atau
bekerja diluar rumah. Al-Quran tetap membolehkan perempuan keluar rumah atau
bekerja diluar rumah, namun ia harus berpakaian sedemikian rupa sehingga akan
dipandang dan diperlakukan secara baik dan tidak diganggu.
Dari penjelasan tersebut nampaknya
Riffat inggin meluruskan asumsi umum tentang jilbab bercadar yang berimplikasi
terhadap prinsip segregasi (pemencilan atau pemisahan), sehingga perempuan
menjadi tidak boleh keluar rumah atau bekerja di luar rumah. Penjelasan Riffat
tersebut masih terkesan seksis, seperti diakuinya sendiri. Namun menurutnya hal
itu wajar dan masuk akal. Pemikiran Riffat tersebut berangkat dari kenyataan
dilapangan bahwa ada daerah-daerah di Pakistan, jika seseorang perempuan
memakai rok mini, ia akan di ganggu, dipandangi sekaligus di raba-raba bahkan
diperkosa. Oleh karena itu, menurut Riffat, memeng sebaiknya seorang perempuan
berpakain meneurut rasa kepantasan (wajar) yang menjadikan perempuan dihormati
kemanusiaannya.
Menurut Riffat, perempuan tidak
harus menutup mukanya dengan cadar ketika keluar rumah, sebab jika memang wajib
menutup wajah, mengapa dalam al-Quran laki-laki bertemu perempuan disuruh
menundukan pandanganya ? dengan demikian, Riffat mengartikan hijab (termasuk
cadar, jilbab, atau purdah) tidak harus berupa pakaian yang menutup
seluruh tubuh perempuan termasuk muka dan telapak tangan, melainkan pakian yang
menurut rasa kepantasan.
Pandangan sperti ini boleh jadi
sngat kontekstual, sehingga pengertian jilbab dalam al_quran menjadi relatif
dan kondisional, sebab rasa kepantasan daerah satu dengan yang lainnya akan
berbeda, antara dunia barat dan timur juga berbeda. Begitu pula jika hal itu
ditarik kekonteks Indonesia. Bukankah dapat dilihat bahwa corak dan ragam
perempuan muslimah yang memakai jilbab sangat variatif. Gaya dan model seorang
artis memakai jilbab tentu berbeda dengan seorang ibu muslimah di desa. Itu
artinya bahwa sebuah interpretasi itu sebenarnya adalah contested (diperebutkan)
dan ia sangat dipengaruhi oleh konteks sosio-kultural penafsirnya.
Tampak sekali bahwa Riffat dalam
menafsirkan al-Quran lebih condong melihat dimensi ideal moralnya dari para
legal formalnya. Model berpikir semacam ini mirip dengan Fazlur Rahman salah
satu tokoh neo Modernisme dari Pakistan. Sedikit tidaknya pemikiran Riffat Hassan ini
terpengaruh pemikiran Fazlur Rahman tersebut atau seminimalnya setuju.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar