Jumat, 02 November 2012

Biografi dan Pemikiran Riffat Hassan



A.    Sekilas Tentang Tokoh Riffat Hassan
Riffat Hassan feminis Muslimah kelahiran lahore, Pakistan. Belum didapat infomasi yang jelas tentang kapan Riffat dilahirkan kecuali bahwa ia berasal dari keluarga Sayyid kelas atas dan ia adalah salah seorang putri dari sembilan bersaudara, saudaranya terdiri atas lima laki-laki dan tiga perempuan. Ayahnya yang biasa dipanggil “Begum Shahiba” adalah patriarkh di daerah itu. Sangat dihormati dan sekaligus sangat tradisional pandangannya. Sementara ibunya merupakan adalah anak dari seorang penyair, dramawan dan ilmuwan terkemuka, Hakim Ahmad Shuja.
Riffat dibesarkan dalam keluarga yang sangat tradisionalis dan  patriarkhi sejati, yang mempunyai pandangan bahwa bagi gadis adalah menikah di usia 16 tahun dengan pilihan orang tuanya. Sebaliknya ibunya, yang menetang pandangan tradisionalis  yang dianut oleh ayahnya. Dan perbedaan pandangan orang tuanya itulah yang membuat Riffat gelisah dan menarik diri dari hiruk-pikuk keluarga, sehingga sering menyendiri dalam kamar untuk baca dan membuat puisi.
Riffat berani memberontak terhadap ayahnya sebagai patriakhi yang sangat tradisionalis. Semua perjuangan Riffat untuk memberontak pada ayahnya tak luput dari dorongan sang ibu untuk terus melawan sistem patriarkhi yang dianut ayahnya. Bagi Riffat Hassan. Ibunya adalah orang yang sangat berpengaruh dalam keberhasilan studinya, karena telah mendorong untuk menjadi pribadi sendiri. Riffat tidak pernah merasakan kasih sayang selayaknya seorang ibu terhadap anaknya, karena ibunya hanya menyukai keberhasilannya saja, tidak pada diri pribadinya.
Dari pengalaman di amasa kecil itulah yang memicu baginya untuk mengkaji persoalan ketidakadilan gerder secara akademis. Apalagi pendidikan Riffat sangat mendukung untuk meneliti hal tersebut. Sebagai akademis, ia memiliki kesempatan untuk menyaksikan kondisi umat Islam dunia tentang ketidak adilan gender. Kegelisahan pada anak-anak berlanjut kemasa dewasa dimana ketika meneruskan studinya ke Inggris. Riffat Hassan mengalami kegelisahan akademis dan teologis ketika menyaksikan para perempuan muslim kehilangan hak-hak kemanusiaan dan keislaman mereka. Persoalan ini muncul seiring dengan kuatnya budaya patriarkhi di kalangan umat Islam. Pengalaman seperti inilah yang dirasakan Riffat ketika memutuskan menikah dengan lelaki yang juga korban budaya patriarkhi. Perkawinannya dengan Dawar harus berakhir saat dikaruniai seorang putri bernama Mona. Dan putrinya inilah Riffat mempunyai keyakinan untuk terus maju. Kekecewaan Riffat terus bertambah ketika harus menikah lagi dengan Mahmoud seorang laki-laki Muslim Arab yang menganut sistem patriarkhi yang selalu memakai nama Tuhan dalam segala perbuatanya. Perkawinannya ini juga tidak bertahan lama.
Dari perjalanan hidup Riffat yang seprti itulah. Ia terdorong untuk membantu perempuan Muslim yang berada dibawah kekuasaan patriarkhi. Riffat merasa bahagia karena keinginannya untuk mengeluarkan perempuan dari keterkungkungan laki-laki dengan berusaha menafsirkan al-Quran dengan secara sistematis dan persfektif non-patriarkhi dapat dorongan para anggota komisi status perempuan Pakistan dengan mengupas satu persatu untuk dibuktikan kepada masyarakat pakistan bahwa perempuan tidak selamanya menjadi sekunder, subordinatif dan inferior terhadap laki-laki.
Riffat mempunyai keyakinan bahwa laki-laki yang diciptakan setara oleh Allah. Dikemudian hari tidak bisa menjadi tidak setara, begitu juga sebaliknya Al-Quran tidak memandang kedudukan perempuan lebih rendah dibanding laki-laki, keduanya mempunyai kedudukan yang sama. Diskriminasi dan segala ketidakadilan gerder yang menimpa perempuan dalam lingkuangan umat Islam meneurtnya berakar dari pemahaman yang keliru terhadap sumber utama ajaran agama Islam yaitu al-Quran.
 Mulai tahun 1974 ia mempelajari teks Al-Quran secara seksama dan melakukan interpretasi terhadap ayat-ayat Al-Quran khususnya yang berhubungan dengan persoalan perempuan. Ia memberikan sumbangan besar terhadap gerakan perempuan di Pakistan.[2]
Debut awal ketertarikannya pada masalah feminisme terjadi pada tahun 1983-1984 ketika ia terlibat dalam satu proyek penelitian di Pakistan. Ketika itu masa pemerintahan Ziaul Haqq dan Islamisasi sedang dimulai. Pertanyaan yang timbul di benaknya pada waktu itu, mengapa kalau satu negara atau pemerintahan mulai melakukan Islamisasi, tindakan pertama yang dilakukan adalah memaksa perempuan kembali masuk rumah, menutup seluruh tubuh mereka, memberlakukan peraturan dan undang-undang yang mengatur tingkah laku individu, terutama perempuan? Dia kemudian mempelajari teks al-Qur‟an secara serius dan mendalam dan akhirnya melihat perlunya reinterpretasi.
Pendidikan tingginya ditempuh di Inggris di St. Mary‟s College University of Durham. Riffat berhasil menyelesaikan studinya di bidang sastra Inggris dan filsafat dalam waktu tiga tahun dan meraih predikat cumlaude. Riffat sudah mengantongi gelar doktornya dengan desertasinya tentang filsafat Muhammad Iqbal seorang pemikir Pakistan modern yang dikaguminya dalam usianya yang relatif muda, 24 tahun.  Karir intelektual Riffat mulai menampakkan kemantapannya sejak ia menetap di Amerika Serikat pada tahun 1976. Di negara ini, ia menduduki jabatan sebagai Ketua Jurusan Religious Study Program di University of Lousville, Kentucky. Selain itu, ia juga menjadi dosen tamu di Harvard Divinity School. Pada saat menjadi dosen tamu inilah ia berhasil menyelesaikan karyanya Equal Before Allah yang di dasarkan pada risetnya selama setahun (1986-1987). Ia juga menjabat sebagai penasehat guru besar Perhimpunan Mahasiswa Muslim di University Oklahoma, Stillwater.
Adapun karya-karya Riffat Hassan yang  Semua karyanya berbentuk artikel. Yang banyak Riffat tulis dari hasil karya-karya itulah Riffat Hassan diakui oleh banyak kalangan, sebagai pemikir feminis yang telah memberikan kontribusi besar terhadap gerakan feminisme di Pakistan. Diantara karya-karyanya yaitu :
1.      Equal Before Allah? Woman- Men in The Islamic Tradition (1987) edisi Indonesia di. Terj. Wardah Hafidz.
2.      The Role and Responsiblites of Women in the Legal Ritual Tradition of Islam/ Shari’ah (1980).
3.      Muslim Woman and Post Patriarchal Islam (1991).
4.      The Issue of Woman-Men Equality in Islamic Tradition (1991).
5.      Jihad fi Sabilillah: A Muslim Woman’s faith Journey From Struggle to Sruggle.
6.      Muslim Woman and Post-Patriarchal Islam.
7.      Women’s and Men’s Liberation dll.
Segingga terlepas dari kontroversinya yang ada, dari karya-karya ilmiah yang ditulisnya dan perjalanan kerier intelektualnya, menunujukan bahwa Riffat Hassan merupakan sosok pemikir perempuan yang kreatif, progresif dan produktif. Tidaklah berlebihan jika kemudian Riffat Hassan juga disebut sebagai seorang reformis pemikiran Islam di bidang Isu-Isu gender.

B.     Pokok-Pokok Pemikiran Riffat Hassan
1.      Pendekatan dan Metode yang dipakai oleh Riffat Hassan
Sebagai seorang tokoh pembaharu dalam dunia islam, riffat hasan mempunyai beberapa pokok-pokok pemikiran. Banyak pemikiran beliau yang bertolak belakang dengan para ulama sebelumnya. Karena latar pendidikannya dan kondisi masyarakat yang patriarkhi, maka beliau berusaha memperjuangkan hak-hak yang harus di dapat oleh perempuan. Maka dari itu, beliau termasuk tokoh feminis muslim.
Menurut beliau, diskriminasi dan segala macam bentuk ketidakadilan terhadap gender yang menimpa kaum perempuan dalam lingkungan umat islam berakar dari pemahaman yang keliru dan bias laki-laki terhadap sumber utama ajaran islam yaitu al-qur’an. Maka dari itu, beliau mulai membuat dekonstruksi pemikiran teologis tentang perempuan, terutama mengenai tema tentang penciptaan hawa sebagai perempuan pertama yang diciptakan oleh Allah.
Untuk memahami lebih jelas mengenai pemahaman beliau tentang teologi feminisme, maka hal ini dapat terlihat dari tulisan beliau dalam bukunya yang berjudul setara di hadapan Allah, Relasi laki-laki dan perempuan dalam tradisi islam pasca patriarkhi yang diterjemahkan oleh team LSPPA Yogyakarta.
Kendati pun ada perbaikan-perbaikan secara statistik seperti hak-hak pendidikan, pekerjaan dan hak-hak sosial serta politik, perempuan akan terus menerus diperlakukan dengan kasar dan didiskriminasi, jika landasan teologis yang melahirkan kecenderungan-kecenderungan yang bersifat misoginis dalam tradisi islam tersebut tidak dibongkar. Banyaknya jaminan hak-hak sosial-politik perempuan tidak akan berarti apa-apa, jika mereka dikondisikan untuk menerima mitos-mitos yang digunakan oleh para teolog atau pemimpin-pemimpin keagamaan untuk membelenggu tubuh, hati, pikiran dan jiwa mereka; mereka tidak akan pernah berkembang sepenuhnya atau menjadi manusia seutuhnya, manusia yang bebas dari rasa ketakutan dan rasa bersalah, bisa berdiri sejajar dengan laki-laki dalam pandangan Tuhan. Menurut saya, saat ini kita harus mengembangkan apa yang disebut oleh orang Barat sebagai teologi feminis dalam konteks islam dengan tujuan untuk membebaskan bukan hanya perempuan Muslim tapi juga laki-laki Muslim dari struktur-struktur dan undang-undang yang tidak adil yang tidak memungkinkan terjadinya hubungan yang hidup antara laki-laki dan perempuan.
Konsepsi gender yang keliru juga berakibat pada ketidakadilan gender. Terutama karena gender dipahami sebagai sifat yang alami dan kodrati. Padahal konsep gender itu sendiri, merupakan hasil konstruksi sosialdan kultural sepanjang sejarah manusia, bukan bersifat kondrati. Perbedaan gender dibentuk oleh banyak hal. Hal inilah yang membentuk dan coba dikritisi oleh Riffat Hassan. Terutama mengenai interpretsi terhadap ajaran keagamaan.
Riffat Hassan dalam membangun teologi feminisme menggunakan dua pendekatan yaitu: pertama, pendekatan ideal-normatif. Pendekatan ini ditempuh untuk melihat bagaimana al-qur’an menggariskan prinsip-prinsip ideal-normatif tentang perempuan. Contohnya bagaimana seharusnya  perempuan menurut al-qur’an dalam tingkah laku, relasi dengan Tuhan, dirinya dan orang lain. Kedua, pendekatan empiris. Pendekatan ini bertujuan untuk melihat realitas sosio historis secara empirik yang terjadi pada perempuan. Sebagai contohnya, bagaimana seorang memandang dirinya dan orang lain dalam masyarakat islam.
Hal inilah yang membuat Riffat Hassan mempunyai keinginan untuk mencari dan mengkaji secara konprehensif terhadap teks-teks keagamaan yang mengandung feminisme. Selain itu juga, beliau menawarkan kontruksi metode penafsiran baru untuk memahami teks-teks yang mengandung unsur-unsur feminisme, yaitu metode historis-kritis-komparatif. Cara kerja metode ini menggunakan tiga prinsip, yaitu: pertama, melakukan analisi semantik dengan memeriksa ketetapan makna kata atau bahasa dari berbagai kata-kata kunci yang terdapat dalam satu ayat, lalu menetapkan artinya berdasar sejarah kata dan akar katanya untuk dibandiingkan dengan realitas yang terjadi. Kedua, melakukan pengujian atas konsistensi filosofis dari penafsiran-penafsira yang telah ada. Ketiga, prinsip etis dengan didasarkan pada prinsip keadilan yang merupakan pencerminan dari Justice of God.
Ketiga prinsip metodologis tersebut dapat dipahami sebagai berikut: pertama, mencari makna kata yang sebernarnya yang terkandung dari akar kata tersebut, kemudian menempatkan makna yang ssebenarnya tersebut sesuai denga konteks masyarakat saat itu. Sebagai implikasi dari metode tersebut, Riffat Hassan menolak model penafsiran yang linguistic-literalistik. Karena setiap kata dan ayat terdapat dalam al-qur’an mempunyai makna yang berbeda tergantung konteks, lokus, dan tempusnya. Kedua, mengasumsikan bahwa kandungan al-qur’an merupakan satu kesatuan yang antara satu ayat dengan ayat lain maknanya saling menguatkan. Maka dari tiu isi al-qur’an tidak mungkin bertentangan. Tetapi hanya pemahaman dari penafsir saja yang berbeda. Ketiga, prinsip etik ini dijakan verifikasi terhadap hasil penafsiran tersebut. Artinya suatu penafsiran bisa dikatakan sah atau benar jika sejalan dengan prinsip-prinsip nilai keadilan. Sebaliknya, penafsiran itu dikatakan tidak sah atau batal dengan sendirinya jika mengakibatkan penindasan kepada salah satu pihak  atau bertentangan dengan prinsip-prinsip nilai keadilan. Terkahir untuk menganalisis hasil dari ketiga metode ini, maka beliau menggunakan metode komparasi dengan melakukan perbandingan terhadap teks-teks yang lain, baik teks tersebut terdapat dalam al-qur’an, injil, tahmud.
Setelah beliau melakukan pencarian terhadap akar permasalahan teologi dari permasalahan ketidaksetaraan antara laki-laki dan perempuan dalam tradisi islam, maka beliau membawanya ke dalam dua wilayah yang sangat signifikan menurut beliau. Kedua wilayah tersebut adalah pertama, menyadari bahwa kitab shahihain mempunyai dampak yang sangat besar dalam penentuan hukum. Karena kebanyakan umat muslim menganggap bahwa kiatab shahihain adalah kitab yang otoritatif setelah al-qur’an. Maka dari itu, Riffat Hassan mulai mencari hadits-hadits yang berisikan tentang perempuan dalam kitab tersebut.  
Kedua, beliau melakukan pengkajian terhadap karya-karya yang dibuat oleh para teolog baik teolog muslim, yahudi, maupun kristen. Selain itu juga, beliau berusaha mencari sumber-sumber teologis yang terdapat pada gagasan-gagasan dan sikap-sikap anti feminis yang terdapat dalam tradisi agama masing-masing.  Karena karya-karya mereka suka dijadikan sumber setelah kitab suci.
 Dari pencarian dua arah tersebut, riffat hassan menemukan bahwa akar dari kepercayaan laki-laki lebih superior daripada perempuan berdasarkan tiga asumsi teologis berikut ini: pertama, bahwa Tuhan lebih dulu menciptakan laki-laki daripada perempuan. Karena perempuan tercipta dari tulang rusuk laki-laki. Maka dari itu perempuan diciptakan oleh Tuhan setelah laki-laki. Hal ini juga yang membuat perempuan lebih derifatif dan sekunder secara ontologis.
 Kedua, bahwa perempuan adalah bukan laki-laki. Hal inilah yang menjadi penyebab utama man’s fall atau terusir dari garden of eden. Maka dari itu, perempuan harus dipandang dengan rasa benci, curiga dan jijik. Ketiga, bahwa perempuan tidak hanya diciptakan dari tulang rusuk laki-laki tapi juga untuk laki-laki, yang membuat eksistensi seorang perempuan semata-mata bersifat sebagai alat (intrumental) dan tidak memiliki makna yang fundamental.
2.      Aplikasi Metodologi Penafsiran Riffat Hassan
Setelah sebelumnya penjang lebar membahas mengenai setting historis riffat hassan beserta metodologi yang beliau tawarkan, maka pembahasan selanjutanya mengenai beliau adalah mengenai aplikasi penafsiran beliau terhadap ayat-ayat al-qur’an yang berhubungan dengan feminisme. Beliau berusaha menafsirkan ayat-ayat tersebut karena beliau berfikir bahwa selama ini kontruksi penafsiran al-qur’an cenderung di dominasi oleh kepentingan laki-laki. Hal ini terlihat bahwa kebanyakan dari para mufasir adalah kaum laki-laki dan jarang sekali perempuan.
Adapun dekonstruksi yang dilakukan oleh riffat hassan mengenai tema-tema yang berkaitan dengan teologi feminisme diaplikasikan dalam menafsirkan konsep penciptaan perempuan. Selain itu, beliau juga mencoba merekontruksi ulang mengenai ayat-ayat poligami yang dianggap kebanyakan orang bahwa pologami tersebut hanya untuk pemuas hawa nafsu kaum laki-laki. Demikian pula mengenai jilbab dan cadar yang selama ini dianggap sebagai pengekang bagi kaum perempuan. Diantara contoh aplikasi penafsiran beliau adalah sebagai berikut :
a.       Konsep penciptaan dan kesetaraan perempuan
Dalam diskursus feminisme, bahwa hal yang sangat signifikan mengenai kesetaraan antara laki-laki dan perempuan adalah mengenai proses penciptaan. Sebab adanya diskriminasi dan ketidaksetaraan gender yang menimpa perempuan adalah dalam lingkup umat islam bermula dari penafsiran para mufasir mengenai proses penciptaan.
Menurut riffat hassan, jika laki-laki dan perempuan diciptakan oleh Tuhan setara, maka di kemudian hari kesetaraan tersebut tidak akan berubah menjadi tidak setara. Begitu juga sebaliknya, jika laki-laki diciptakan oleh Tuhan tidak setara dengan perempuan, maka di kemudian hari hal tersebut tidak akan berubah. Hal inilah yang membuat riffat hassan mencoba merekonstruksi ulang penafsiran para mufasir mengenai ayat-ayat penciptaan. Apakah benar bahwa perempuan itu diciptakan dari tulang rusuk adam? Karena jika memang benar perempuan itu diciptakan dari tulang rusuk adam, maka secara ontologis-filosofis dan biologis hanyalah derivasi dan sebagai pelengkap saja. Maksudnya, prempuan secara substansial permpuan tidak setara dengan laki-laki. 
Adapun ayat-ayat yang berkenaaan tentang penciptaan Hawa oleh Tuhan tidak disebutkan secara jelas dan terperinci mekanisme penciptaannya. Diantara ayat-ayat tersebut adalah:
 .1يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا
Artinya : “hai sekalian manusia, bertaqwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dan dari padanya allah menciptakan istrinya; dan daripada keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertaqwalah kepada allah yang dengan (mempergunakan) nama-nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahmi. Sesungguhnya Allah senantiasa menjaga dan mengawasi kamu.   (QS. An-nisa : 1)
3.     هُوَ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَجَعَلَ مِنْهَا زَوْجَهَا لِيَسْكُنَ إِلَيْهَا فَلَمَّا تَغَشَّاهَا حَمَلَتْ حَمْلًا خَفِيفًا فَمَرَّتْ بِهِ فَلَمَّا أَثْقَلَتْ دَعَوَا اللَّهَ رَبَّهُمَا لَئِنْ آَتَيْتَنَا صَالِحًا لَنَكُونَنَّ مِنَ الشَّاكِرِينَ
Artinya “Dialah Yang meniptakan kamu dari diri yang satu dan daripadanya Dia menciptakan istrinya, agar dia merasa senang kepadanya. Maka setelah dicampurinya, istrinya mengandung kandungan yang ringan, dan teruslah dia merasa ringan (beberapa waktu). Kemudian tatkala dia mersa berat, keduanya (suami-istri) bermohon kepada Allah, Tuhannya seraya berkata: “ Sesungguhnya jika engkau memberi kami anak yang sempurna, tentulah kami termasuk orang-orang yang bersyukur”. (QS. Al-‘araf: 189).

4.     خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ ثُمَّ جَعَلَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَأَنْزَلَ لَكُمْ مِنَ الْأَنْعَامِ ثَمَانِيَةَ أَزْوَاجٍ يَخْلُقُكُمْ فِي بُطُونِ أُمَّهَاتِكُمْ خَلْقًا مِنْ بَعْدِ خَلْقٍ فِي ظُلُمَاتٍ ثَلَاثٍ ذَلِكُمُ اللَّهُ رَبُّكُمْ لَهُ الْمُلْكُ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ فَأَنَّى تُصْرَفُونَ
“Dia menciptakan kamu dari seorang diri, kemudian Dian jadikan daripada istrinya dan Dia menurunkan untuk kamu delapan ekor yang berpasangan dari binatang ternak. Dia menjadikan kamu dalam perut ibumu kejadian demi kejadian dalam tiga kegelapan.  Yang berbuat demikian adalah Allah, Tuhan kamu, Tuhan Yang mempunyai kerajaaan tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia, maka bagaimana kamu dapat dipalingkan? (QS. Az-zumar :6)
Walaupun ayat yang menyebutkan mengenai penciptaan Hawa ada banyak, tetapi pada pembahasan kali ini akan dibahas mengenai QS. An- nisa:1. Karena dalam ayat ini penciptaan mengenai Hawa diungkapkan secara jelas. Lagi pula, dalam diskursus penafsiran feminisme yang digugat adalah penafsiran terhadap QS. An-nisa:1.
Dalam ayat ini tidak disebutkan secara eksplisit nama Adam dan Hawa, tetapi dalam ayat tersebut hanya diungkapkan dengan lafadz nafs wahidah dan zaujaha. Namun dengan melihat ayat-ayat lain maupun hadits-hadits yang berkaitan dengan ayat tersebut maka kebanyakan para mufasir menafsirkan kedua kata tersebut adalah Adam dan Hawa. Sebut saja seperti ibnu katsir, al-qurtubi, dan Muhammad bin jarir at-tabari menyamakan kata nafs itu dengan Adam.
Kontroversi yang sesungguhnya bukan pada siapa yang pertama diciptakan, tetapi pada penciptaan Hawa yang dalam ayat tersebut diungkapkan dengan kalimat wa khalaqa minha zaujaha. persoalannya adalah apakah Hawa diciptakan dari tanah sama seperti penciptaan Adam atau diciptakan dari tulang rusuknya Adam?. Kata kunci penafsiran yang kontroversial tersebut terletak pada kata minha. Apakah kalimat tersebut menunjukkan bahwa untuk Adam diciptakan istri dari jenis yang sama dengan dirinya atau diciptakan dari diri Adam itu sendiri. Persoalan inilah yang menjadi inti perbedaan pandangan antara para mufasir dan para feminisme muslim.
Riffat Hassan menolak denga keras pandangan bahwa hawa diptakan dari tulang rusuk Adam, tapi juga mempertanyakan kenapa kata nafs wahidah dipastikan Adam dan kata zaujaha adalah hawa. Padahal dalam bahasa arab, kata nafs tidak menunjuk kepada laki-laki atau perempuan, tapi lebih bersifat netral, bisa laki-laki atau perempuan. Begitu juga kata zauj, tidak bisa secara otomatis diartikan istri. Karena kata ini juga bersifat netral artinya pasangan itu bisa laki  -laki atau perempuan. Disamping kata zauj juga dikenal dengan istilah zaujah bentuk feminin dari kata zauj.
Mengutip kamus Taj al-‘arus, Riffat menyatakan bahwa hanya masyarakat Hijaz yang menggunakan istilah zaujuntuk menunjukkan istilah perempuan. Lalu, riffat mepertanyakan kenapa al-qur’an yang secara meyakinkan tidak hanya diperuntukkan bagi masyarakat Hijaz, menggunakan istilah zauj bukan zaujah.
b.      Konsep Jilbab
Sistem hijab atau purdah, secara historis telah menjadi institusi kaum muslimin selama kurang lebih seribu tahun. Ia berevolusi secara bertahap selama tiga abad pertama Islam awal dan mapan secara penuh selama abad ke 10 dan ke 11 Masehi dengan dukungan interpretasi kaum teolog dan fuqaha pada masa khilafah ‘Abbasiyah. Sejak itu pula sistem purdah menjadi bagian integral dari masyarakat dan kebudayaan kaum muslimin abad pertengahan. Akhirnya ia dianggap sebagai bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan kaum muslimin, sampai-sampai perempuan non Islam seakan-akan bisa dipandang sebagai muslimah hanya karena memekai cadar (purdah).
Dalam pandangan riffat, masalah purdah (cadar) sebenarnya merupakan masalah kompleks. Konsep purdah (cadar) memang merupakan salah satu hal diskursus hangat dikalangan kaum feminis, menurut Riffat, munculnya konsep purdah, bermula dari adanya suatu sistempembagian dua wilayah dalam masyarakat Islam, wilayah privat yaitu rumah, dan wilayah umum yaitu kerja. Perempuan berada di wilayah privat, sedangkan laki-laki wilayah umum. Menurut asumsi umum masyarakat Islam, selama masing-masing pihak berada di tempatnya, semua akan beres dan aman. Ini berarti sistem pemisahan atau pemecilan segresi. Menurut pandangan umum masyarakat Islam, kedua jenis kelamin itu harus dipisahkan dan pengaturan semacam ini dianggap paling tepat dan paling baik.
Jika terpaksa perempuan harus memasuki wilayah umum (wilayah laki-laki) karena alasan ekonomi sehingga ia harus bekerja atau alasan mendesak lainnya, maka dia harus diberi tutup atau purdah,  sehingga walaupun dia ada, tapi seakan-akan dia tidak ada. Dia ada tanpa muka, suara tanpa identitas. Dengan kata lain, konsep purdah adalah sistem pemecilan dan pemisahan (segragation system).
Setelah Riffat hassan menjelaskan asumsi umum masyarakat Islam, dia lalu mencoba bagaimana pandangan al-Quran tentang hal itu. Menurutnya, ideal moral yang dikehendaki al-Quran sebenarnya adalah prinsip kesehajaan. Al-Quran snagt menekankan bahwa perempuan harus bersahaja, bukan saja dalam berpakaian, tetapi juga dalam berbicara, berjalan, bertingkah laku, dan lain sebagainya. Prinsip semacam ini juga dianjurkan kepada lelaki, meskipun selanjutnya hal itu lebih banyak ditujukan kepada  perempuan. Dalam hal ini menjadi bias gendernya, jika dalam praktiknyaprinsip kesehajaan itu hanya ditekankan pada perempuan. Hal itu tentu tidak diinginkan oleh Riffat Hassan. Sebab pandangan tersebut terkesan masih “diskriminatif”. Seakan-akan perempuan yang dipojokkan dalam masalah ini dan tubuh mereka seakan-akn dipandang sebagai sumber fitanh bagi kaum laki-laki.
Dalam konteks ini fatima mernissi dengan mengutip pendapat Murdock. Beliau membagi masyarkat menjadi  dua kelompok. Pertama,  mereka yang melakukan penghormatan terhadap perempuan terhadap aturan seksual melalui internalisasi yang kuat terhadap larangan seksual selama proses sosialisasi. Kedua, mereka melakukan penghormatan tehadap aturan seksual melalui usaha pencegahan eksternal, seperti aturan untuk tidak saling bertemu antara laki-laki dan perempuan, karena masyarkat seperti ini gagal untuk menginternalilsasikan larangan seksual kepada anggota masyarakatnya. Menurut murdock, barat termasuk kelompok pertama, sedangkan pada masyarakat yang menerapkan aturan cadar, termasuk kelompok kedua.
Hemet penulis[3], pandangan Riffat Hassan tentang jilbab sebagai sebuah konsep yang menekankan berpakaian bagi perempuan secara bersahaja, tidak bisa dilepaskan dari sejarah priklanan, baik modern atau masa sebelumnya. Sejak berabad-abad, tubuh perempuan selalu menjadi objek reklame. Boleh jadi ini disebabkan karena tubuh perempuan diciptakan sedemikian indahnya, sehingga cocok unutk hal itu atau mungkin karena dalam masyarakat patriarkhi perempuan selalu menjadi objek seks. Maka al-quran memerintahkan kepada perempuan agar tidak berpakaian dan bertingkah laku seperti objek seks, supaya orng tidak menuduhnyabahwa ia ingin diperlakukan sebagai objeks seks.
Dalam konteks seperti itulah, menurut Riffat, maka Nabi Saw. Disuruh memerintahkan istri-istrinya dan kaumperempuan yang beriman, ketika akan meninggalkan rumah agar memakai purdah (jilbab), supaya dianggap perempuan shaleh dan tidak di ganggu. Hal ini sebagimana tersurat dalam surat al-ahzab [33]: 59:
$pkšr'¯»tƒ ÓÉ<¨Z9$# @è% y7Å_ºurøX{ y7Ï?$uZt/ur Ïä!$|¡ÎSur tûüÏZÏB÷sßJø9$# šúüÏRôム£`ÍköŽn=tã `ÏB £`ÎgÎ6Î6»n=y_ 4 y7Ï9ºsŒ #oT÷Šr& br& z`øùt÷èムŸxsù tûøïsŒ÷sム3 šc%x.ur ª!$# #Yqàÿxî $VJŠÏm§ ÇÎÒÈ  
59. Hai Nabi, Katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka". yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Implikasi dari ayat tersebut adalah bahwa al-Quran sama sekali tidak melarang perempuan untuk keluar rumah atau bekerja diluar rumah. Al-Quran tetap membolehkan perempuan keluar rumah atau bekerja diluar rumah, namun ia harus berpakaian sedemikian rupa sehingga akan dipandang dan diperlakukan secara baik dan tidak diganggu.
Dari penjelasan tersebut nampaknya Riffat inggin meluruskan asumsi umum tentang jilbab bercadar yang berimplikasi terhadap prinsip segregasi (pemencilan atau pemisahan), sehingga perempuan menjadi tidak boleh keluar rumah atau bekerja di luar rumah. Penjelasan Riffat tersebut masih terkesan seksis, seperti diakuinya sendiri. Namun menurutnya hal itu wajar dan masuk akal. Pemikiran Riffat tersebut berangkat dari kenyataan dilapangan bahwa ada daerah-daerah di Pakistan, jika seseorang perempuan memakai rok mini, ia akan di ganggu, dipandangi sekaligus di raba-raba bahkan diperkosa. Oleh karena itu, menurut Riffat, memeng sebaiknya seorang perempuan berpakain meneurut rasa kepantasan (wajar) yang menjadikan perempuan dihormati kemanusiaannya.
Menurut Riffat, perempuan tidak harus menutup mukanya dengan cadar ketika keluar rumah, sebab jika memang wajib menutup wajah, mengapa dalam al-Quran laki-laki bertemu perempuan disuruh menundukan pandanganya ? dengan demikian, Riffat mengartikan hijab (termasuk cadar, jilbab, atau purdah) tidak harus berupa pakaian yang menutup seluruh tubuh perempuan termasuk muka dan telapak tangan, melainkan pakian yang menurut rasa kepantasan.
Pandangan sperti ini boleh jadi sngat kontekstual, sehingga pengertian jilbab dalam al_quran menjadi relatif dan kondisional, sebab rasa kepantasan daerah satu dengan yang lainnya akan berbeda, antara dunia barat dan timur juga berbeda. Begitu pula jika hal itu ditarik kekonteks Indonesia. Bukankah dapat dilihat bahwa corak dan ragam perempuan muslimah yang memakai jilbab sangat variatif. Gaya dan model seorang artis memakai jilbab tentu berbeda dengan seorang ibu muslimah di desa. Itu artinya bahwa sebuah interpretasi itu sebenarnya adalah contested (diperebutkan) dan ia sangat dipengaruhi oleh konteks sosio-kultural penafsirnya.
Tampak sekali bahwa Riffat dalam menafsirkan al-Quran lebih condong melihat dimensi ideal moralnya dari para legal formalnya. Model berpikir semacam ini mirip dengan Fazlur Rahman salah satu tokoh neo Modernisme dari Pakistan. Sedikit  tidaknya pemikiran Riffat Hassan ini terpengaruh pemikiran Fazlur Rahman tersebut atau seminimalnya setuju.    


[1] . Abdul Mustaqim. Dinamika Sejarah Tafsir al-Quran. Yogyakarta: Adab Perss. 2012. Hal v
[2] . Yunahar Ilyas, Feminisme dalam Kajian Tafsir Al-Quran klasik dan kontemporer. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997). Hal 58.
[3] .Dr.H. Abdul Mustaqim, M.A.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar