Minggu, 08 Februari 2015

Sahabat Nabi; Siapa, ke Mana, dan Bagaimana? Karya Fuad Jabali



Sahabat Nabi; Siapa, ke Mana, dan Bagaimana? Karya Fuad Jabali
Sebuah ulasan oleh Baihaki

Membicarakan tentang kredibilitas para Sahabat memang menjadi suatu hal yang penting, ketika para ulama, baik terdahulu maupun sekarang, berusaha merumuskan apa pun tentang Islam, seperti yang ditemukan dalam berbagai buku/kitab, mereka akan melihat pemikiran dan tindakan Sahabat baik sebagai model maupun sebagai pewaris model (yang dikembangkan Nabi). Karena sahabat adalah orang yang menjadi saksi primer dalam kehidupan Nabi itu sendiri.
Sebuah disertasi yang ditulis oleh Fuad Jabali dengan judul terjemahan dalam bahasa Indonesia Sahabat Nabi; siapa, ke mana dan bagaimana?, merupakan sebuah karya yang luar biasa dan banyak menarik perhatian para ulama, terutama ulama yang konsen dalam bidang hadis. Pembahasannya tentang sahabat sebagaimana yang dikatakan oleh Azyumardi Azra dalam pengantar bukunya, Fuad Jabali berusaha membahasnya tidak dengan semangat untuk mengarahkan atau memposisikan kepada paham keagamaan tertentu. karena sebagaimana kita ketahui, pembahasan ini adalah pembahasan yang sangat sensitif yang menyebabkan masyarakat Islam terpecah menjadi dua golongan besar: Sunni dan Syiah dalam menanggapi masalah konflik Sahabat ini.
Pihak Sunni beranggapan dengan kaidahnya yang terkenal kullu al-sahabati al-‘udulu yaitu bahwa semua sahabat itu adil, sehingga perbincangan konflik antar sahabat merupakan sesuatu yang tak perlu disinggung lebih jauh karena hanya akan menggangu secara teologis. Sedangkan dari pihak lain yakni syi’ah, beranggapan sebaliknya, bahwa tidak semua sahabat itu adil, karena para sahabat juga hanya manusia biasa yang bisa melakukan kesalahan (berbuat yang tidak adil), tidak seperti nabi yang ma’sum yang terjaga dari kesalahan dari yang diwahyukan tentang keagamaan. Tetapi Fuad Jabali berhasil dalam menangkap itu sehingga dia tidak terperangkap dalam pengaruh yang membenarkan salah satu paham terhadap pertentang Sunni dan Syiah tersebut.
Kemudian kesimpulan yang Fuad Jabali dapatkan adalah bahwa konflik antar sahabat (atau kalau diperluas: konflik pada masa awal Islam) sangat dipengaruhi jarak antara masing-masing orang yang terlibat konflik tersebut dengan prinsip-prinsip kenabian. Kesimpulan ini bisa memberikan catatan penting bagi para peneliti yang menekankan aspek kesukuan sebagai penjelas konflik dalam masyarakat Arab.
Dalam memahami korps sahabat terdapat dua hal penting, pertama istilah sahabat muncul karena adanya Nabi. Semakin dekat hubungan sahabat kepada Nabi, maka semakin tinggi posisi yang didapatkannya. Kedua, sebab kenabian adalah jabatan agama, maka jabatan sahabat yang sangat terkait dengan kenabian juga merupakan bagian dari jabatan agama.
Peranan para sahabat yang besar telah diakui bahkan semenjak Nabi wafat. Para sahabat baik yang elit maupun yang biasa, berperan penting bukan hanya dalam menegakkan dasar-dasar tatanan sosial dan politik di Madinah, tetapi juga dalam penyebaran masyarakat Muslim masa awal di luar Madinah dan keberhunian mereka pada tahan-tanah yang baru ditaklukan. Faktor yang mendukung perpindahan dan keberhunian ini menurut Fuad Jabali, disamping faktor sosial ekonomi, penunjukan jabatan/pengaruh keluarga atau figur penting, politik atau pengusiran adalah faktor kesatuan “Islam-hijrah-Jihad” yang merupakan faktor yang terpenting.
Madinah menjadi simbol otoritas politik dan ekonomi untuk daerah hunian yang baru. Sejauh menyangkut pemilihan khalifah baru, keputusan yang diambil oleh orang Madinah akan disetujui oleh semua orang-orang yang tinggal pada hunian baru. Kenyataan bahwa para sahabat yang masuk Islam lebih awal menjadi figur kunci, baik di Madinah maupun di pusat hunian-hunian baru yang menjadi jaminan untuk memelihara komunikasi dan tatanan yang baik.
Namun keadaan itu berubah ketika Utsman ibn Affan menjadi khalifah. Konsep Islam-Hijrah-Jihad telah mendorong sahabat yang tinggal di madinah untuk meninggalkan kota ini menuju hunian baru, dimana ketika masa Umar bin Khattab perpindahan sahabat dari kota Madinah terdapat pengontrolan penyebaran dari Umar bin Khattab sehingga untuk menjamin bahwa dia memilki sahabat dalam jumlah yang cukup disekitarnya. Hal ini tidak dilakukan oleh Usman bin Affan, banyakanya Sahabat yang awalnya berada di Madinah kemudian berpindah ke hunian yang baru sehingga menyebabkan Madinah sebagai pusat kekuasaan agama, politik dan ekonomi menjadi kota yang kekurangan sahabat sama sekali, bahkan ketika dia terbunuh para sahabat banyak yang berada di luar Madinah. Sehingga tidak mengherankan kemudian keputusan Ali, khalifah selanjutnya meninggalkan Madinah dan pergi ke pusat hunian baru untuk mendapatkan dukungan sahabat yang lain dalam keadaan seperti ini.
Lantaran sahabat merupakan pemain utama dalam sejarah abad pertama, konflik dalam masyarakat Muslim pada saat itu bisa direduksi menjadi percekcokan yang melibatkan kelompok ini. Oleh karena itu, untuk memahami semua peristiwa pada masa itu, seseorang harus memahami sepenuhnya siapa sahabat itu sebenarnya, bagaimana tingkatan dalam kelas mereka, dan bagaimana hubungan internal mereka.
 Perang shiffin yang terjadi bisa dijelaskan dengan persfektif ini, perang yang terjadi antarkelompok yang berbeda dalam hal kesahabatan dan ide-ide keagamaan. Atau dengan kata lain ini adalah peperangan yang terjadi antara orang-orang yang dekat dengan Nabi (baik dalam hal hubungan darah maupun pesan-pesan keagaamaan yang dibawa Nabi) dan orang-orang yang kurang dekat dengannya.
Faktor-faktor sosial dan ekonomi juga menjadi faktor yang bekerja di balik konflik ini. Ali dan para pendukungnya, karena dekat dengan Nabi dan termasuk pemeluk Islam lebih awal, menikmati status sosial yang tinggi dan keuntungan ekonomi. Mu’awiyah dan para pendukungnya, secara kontras mengalami penderitaan sosial dan ekonomi. Dengan kata lain, perang shiffin ini adalah perang antara yang kaya dan yang termiskinkan. Karena orang-orang makmur pada masa khalifah umar kehilangan hak-hak istimewanya pada masa khalifah Usman bin Affan. Di bawah kebijakan Usman orang-orang yang masuk Islam belakangan secara perlahan mengambil alih posisi yang sebelumnya di isi orang-orang yang masuk Islam lebih awal. Dalam pergumulan ini umat Islam yang memeluk agama lebih awal kalah. Jadi, perang Shiffin bukanlah perang antar suku di mana Ali sering di asosiasikan dengan ahl al-‘Iraq dan Mu’awiyah dengan ahl al-Syam. padahal hal ini tidak terjadi, lantaran mayoritas pendukung Ali adalah orang-orang dari selatan, yang dekat dengan wilayah Mu’awiyah, sedangkan pendukung Mu’awiyah menunjukan suatu keadaan yang seimbang antara utara dan selatan. Akan tetapi perang terjadi antar prestasi keagamaan yaitu perang antar umat Islam yang awal masuk Islam yaitu kaum anshar dan mereka yang masuk Islam belakangan yaitu kaum Quraisy. Hal ini menunjukan bahwa faktor kesukuan menjadi faktor yang kedua.
Hal ini juga diamini oleh Jalaluddin Rahmat, walaupun terdapat bantahan pada faktor kedua. Dia setuju bahwa konflik dan aliansi politik di antara Sahabat bukan disebabkan oleh sebaran geografis atau sentimen kesukuan, melainkan pada prestasi keagamaan. Faktor inilah yang memecah Quraisy menjadi: mereka yang terkait erat dengan Nabi dan misinya dan mereka yang masuk Islam pada saat-saat terakhir.
Tetapi selanjutnya, tesis Jabali yang sangat kuat ini dan didukung dengan data yang sangat akurat, kemudian membuat Jalaluddin Rahmat keheranan kenapa Jabali masih tergoda dengan memasukkan faktor ekonomi juga berada di balik konflik politik antar sahabat ini. Jalaluddin kemudian membuat sebuah pernyataan baru yang menolak fakta tersebut dengan kenyataan sejarah bahwa Abu bakar Umar dan lebih-lebih Usman telah bersama-sama meruntuhkan kekuatan ekonomi ‘Ali dan menaikan posisi ekonomi Mu’awiyah sebagaimana yang telah Jalaluddin paparkan dalam pengantar buku karya Fuad Jabali ini.
Disini menurut penulis memang dalam memperbincangkan masalah para sahabat tidak akan mudah menemukan titik temunya, karena hal ini sudah mengakar kuat dari zaman dulu,  jika menyinggung dua kriteria paham keagamaan tersebut yaitu Sunni dan Syiah, tetapi selalu ada cara yang bisa ditempuh untuk menemukan jalan itu, salah satunya yaitu melalui dialog agama antar kedua mazhab Islam ini, khususnya tentang tema sahabat. Karena memang mustahil untuk menghapus kedua paham tersebut, atau berusaha menyatukan dua paham tersebut secara total sabagaimana usulan Mustafa al-Syak’ah, sejarawan kontemporer yang dikenal dengan gagasannya “Islam tanpa mazhab-mazhab” (Islam bila Madzahib). Jadi tujuan yang paling realistis dalam dialog ini adalah agar kedua penganut madzhab ini bisa saling memahami dan menghormati perbedaan sehingga dapat mengerti tujuan dari pihak masing-masing dan dapat hidup berdampingan secara damai. Sebab perbedaan adalah tabiat manusia dan perbedaan itu adalah rahmat jika bisa menyikapinya, sehingga hal yang paling realistis adalah mendekatkan dua aliran tersebut dan membangun sikap toleransi antar pengikutnya untuk mencapai Islam yang rahmatan lil’alamin.






Kitab Ma’rifah ‘Ulum al-Hadis karya al-Hakim al-Naisabury



Teori dan Metodologi Sanad dalam Perspektif al-Hakim dalam Kitab Ma’rifah ‘Ulum al-Hadis
Oleh Baihaki
A.    Pendahuluan
Hadis adalah sumber kedua setelah al-Qur’an. Sebagai sumber kedua, hadis tidaklah sama dengan al-Qur’an, baik pada tingkat kepastian teks (qathi al-wurud) maupun pada taraf  kepastian argumen (qathi al-dalalah). Hal ini dikarenakan pada fakta dengan tidak ada jaminan otentik yang secara eksplisit menjamin kepastian teks, sebagaimana yang dimiliki al-Qur’an. Tidak adanya jaminan otentisitas teks ini kemudian memaksa disiplin ilmu ini, melalui para pengkajinya untuk bersusahpayah merumuskan secara swadaya (tanpa campur tangan Tuhan) konsep yang bisa menjamin akan otentisitasnya. Sebab tanpa jaminan otentisitas, maka isi dan muatan hadis, bagaimanapun bagus dan solutifnya, tetap tidak dianggap eksistensinya (sebagai teks hadis).[1]
Demi mewujudkan hal ini, kemudian para pengkaji ilmu hadis berusaha merumuskan sejumlah disiplin ilmu tentang ulumul hadis yang berkompoten menilai hadis baik dari segi sanadnya, matannya maupun perawinya. Salah satunya adalah sebuah karya yang dihasilkan oleh seorang pakar hadis yang muncul ke permukaan pada abad 4 H, yaitu al-Hakim al-Naisaburi atau yang dikenal sebagai Ibn al-Bayyi’ dalam kitabnya yang berjudul “Ma’rifah ‘Ulum al-Hadis”.  Dalam kitab ini beliau membagi jumlah cabang ilmu hadis menjadi 52 cabang ilmu, yang meliputi pembahasan tentang sanad, matan, sanad matan, perawi, derajat hadis dan hal ihwal periwayatan. Adapun fokus kajian yang akan penulis bahas pada bagian ini adalah tentang teori dan metodologi sanad berdasarkan perspektif al-Hakim dalam kitabnya tersebut.


B.     Sekilas Biografi al-Hakim al-Naisaburi
1.      Nama, nasab dan kurun hidupnya
Al-Hakim yang mempunyai nama lengkap Abu ‘Abdullah Muhammad bin 'Abdullah bin Muhammad ibn Hamdawaih bin Nu’aim al-Dabbi al-Tahmani al-Naisaburi atau yang lebih dikenal sebagai Abu ‘Abdullah al-Hakim al-Naisaburi atau Ibn al-Bayyi’.Lahir pada waktu pagi hari di Naisabur pada tanggal 3 Rabi’ul Awal 321 H.[2]
Ayah al-hakim, Abdullah bin Hammad bin Hamdun adalah seorang pejuang yang dermawan dan ahli ibadah yang sangat loyal terhadap penguasa bani Saman yang menguasai daerah Samaniyyah. Dalam catatan sejarah daerah Samaniyah pada abad ke 3 telah melahirkan para ahli hadits ternama.[3] Di tempat inilah al-Hakim dilahirkan dan dibesarkan. Kondisi sosiokultural ini yang mempengaruhi al-Hakim sebagai seorang pakar hadits abad 4 H.[4]
Al-Hakim al-Naisaburi menuntut ilmu dimulai semenjak masih kecil dibawah bimbingan dan pengawasan dari paman dan ayahnya sendiri. Baru pada usia 13 tahun (334), secara spesifik berguru kepada ahli hadis Abu Hatim Ibnu Hibban dan ulama-ulama yang lainnya. Al-Hakim melakukan pengembaraan ilmiah ke berbagai wilayah, seperti Iraq, Khurasan, Transoxiana, dan Hijaz. Kehadiaran al-Hakim di tempat itu untuk dapat berguru langsung dengan para ahli hadis yang ada, agar sanad Hadis yang diterimanya memiliki nilai sanad yang ‘ali (unggul). Selama kurang lebih 84 tahun perjalanan hidupnya, al-Hakim telah memberikan kontribusi yang besar dalam bidang hadis namun pada bulan Safar 405 H. Al-Hakim menghembuskan nafas terakhirnya mengahadap sang pencipta.[5]
2.      Guru-guru al-Hakim
Adapun para guru Abu Abdullah Al-Hakim al-Naisaburi sendiri jumlahnya mencapai 1000 orang lebih. Diantara guru-gurunya tersebut adalah sebagai berikut:
a.       Muhammad bin Ya’qub al-‘A’sam
b.      Muhammad bin Ali Al-Muzakkir
c.       Al-Daruqutni
d.      Ibnu Hibban
e.       Al-Hasan bin Ya’qub Al-Bukhari
f.        Abu Ali Al-Naisaburi
g.      Ali bin Hamsad al-adl. Dan banyak lagi yang lainnya.[6]

3.    Murid-murid al-Hakim
Banyak sekali murid yang dimiliki oleh al-hakim, di antara murid-murid al-Hakim yang pernah meriwayatkan hadis darinya adalah :
a.       Abu Al-Falah bin Ubay bin al-Fawari
b.      Abu al-A’la al-Wasiti
c.       Muhammad bin Ahmad bin Ya’qub
d.      Abu Zarr al-Hirawi
e.       Abu Ya’la al-Khalili
f.       Abu Bakar al- Baihaqi
g.      Abu Bakar Ahmad bin Ali Bin Khalaf Asy-Syairazi, dan masih banyak yang lainnya.[7]
4. Karya-karya al- Hakim
Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya, al- Hakim adalah salah satu intelektual muslim yang hidup pada abad 4 H. Beliau termasuk ulama yang memegang komitmen keilmuannya. Di antara kitab-kitab yang pernah di tulis al-Hakim adalah:
a.      Ma’rifah‘ulum al-hadis
b.      Fadail al-Imam al-Syafi’i
c.       Fadail al-Syuyukh
d.      Al-‘Ilal
e.       Tarikh ‘Ulama al-Naisabur
f.        Al-Madkhalila ‘Ilm al-Sahih
g.       Al-Madkalila al-Iklil,
h.      Al-Mustadrak ‘ala al-sahihaindan lain-lain.[8]

C.    Sekilas tentang Kitab Ma’rifah ‘Ulum al-Hadis
Kitab Ma’rifah ‘Ulum al-Hadis adalah sebuah kitab ulumulhadis yang dikarang oleh al-Hakim al-Naisaburi yang membagi jumlah cabang ilmu hadis menjadi 52 cabang ilmu, yang meliputi pembahasan tentang sanad, matan, sanad matan, perawi, derajat hadis dan hal ihwal periwayatan.[9]Adapun fokus kajian yang akan penulis bahas pada bagian ini adalah tentang teori dan metodologi sanad yang dipaparkan al-Hakim dalam kitabnya tersebut.
Berdasarkan pengamatan penulis setidaknya terdapat 12 cabang ilmu tentang sanad yang al-Hakim paparkan dalam kitabnya ini, kedua belas cabang ilmu tersebut adalah sebagaimana berikut:
a.      ‘Ali al-Isnad.
b.      Al-‘Ilmu bi al-Nazil.
c.       Al-Masanid min al-Asanid.
d.      Al-Mauquf min al-Riwayat
e.       Al-Asanid allati la yadzkuru sanadaha min Rasulillah Saw.
f.        Al-Mursal al-mukhtalif fii al-ihtijaji biha.
g.      Al-Munqati’ min al-Hadis.
h.      Al-Musalsal min Al-Asanid.
i.        Al-Ahadisu al-Mu’an’anah.
j.        Al-Mu’dal min al-Riwaayaati.
k.       Al-Mudallisiin.
l.        Tashiifatu al-Muhaddisiina fi al-Asanid.
Untuk menjelaskan lebih lanjut beberapa istilah teori di atas penulis akan membahasnya pada bagian selanjutnya.
D.    Teori dan Metodologi Sanad dalam Perspektif al-Hakim dalam Kitab Ma’rifah ‘Ulum al-Hadis
Sebagaimana disebutkan di atas bahwa cabang-cabang ilmu tentang sanad yang disebutkan al-Hakim dalam kitabnya ini kurang lebih terdapat 12 cabang ilmu dalam 52 cabang ilmu-ilmu hadis yang al-Hakim sebutkan. Untuk mengekstrak contoh teori dan metodologi yang dijelaskan al-Hakim dalam kitabnya penulis mengambil beberapa cabang ilmu tentang sanad mengenai pembahasan tentang Isnad ‘ali, Al-‘Ilmu bi al-Nazil. Al-Masanid min al-Asanid.Al-Mauquf min al-Riwayat,dan Al-Asanid allati la yadzkuru sanadaha min Rasulillah Saw.sebagaimana berikut di bawah ini:
1.      ‘Ali al-Isnad.
Al-Hakim dalam kitabnya tidak secara langsung mendefinisikan tentang sanad ‘ali tersebut. Menurut penjelasan Ajaj al-Khatib sanad ‘ali adalah sanad yang memiliki jumlah perawinya lebih sedikit untuk sampai kepada Rasulullah dibanding dengan perawinya yang lebih banyak. [10] tradisi mencari sanad ‘ali ini sebenarnya sudah dimulai pada zaman sahabat.[11]
Al-Hakim menyatakan bahwa hukum mencari sanad ‘ali adalah sunnah shahihah. Ia mendasarkan pendapat ini berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Muslim:
نُهِينَا أَنْ نَسْأَلَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ شَيْءٍ فَكَانَ يُعْجِبُنَا أَنْ يَجِيءَ الرَّجُلُ مِنْ أَهْلِ الْبَادِيَةِ الْعَاقِلُ فَيَسْأَلَهُ وَنَحْنُ نَسْمَعُ فَجَاءَ رَجُلٌ مِنْ أَهْلِ الْبَادِيَةِ فَقَالَ يَا مُحَمَّدُ أَتَانَا رَسُولُكَ فَزَعَمَ لَنَا أَنَّكَ تَزْعُمُ أَنَّ اللَّهَ أَرْسَلَكَ قَالَ صَدَقَ
Kami tercegah untuk bertanya kepada Rasulullah Saw. tentang sesuatu, kemudian kami terkejut dengan kedatangan seseorang Arab badui dan bertanya kepada Rasulllah kemudian kami mendengarkan. Arab badui berkata wahai Muhammad telah datang kepada kami utusanmu yang mengatakan bahwa engkau adalah utusan Allah. Rasulullah menjawab, dia itu benar.
            Hadis ini merupakan dalil kebolehan atau anjuran mencari al-‘ulu min al-isnad dan tidak mengunakan sanad najil meskipun seorang periwayat mendengar dari perawi yang tsiqah. Hal ini sebagaimana kejadian Arab badui di atas yangtidak hanya puas dengan kabar dari utusan Rasul tersebut, tetapi langsung datang bertanya kepada Rasulullah Saw.  tentang kebenaran berita itu.
            Menurut al-Hakim untuk mengetahui tulak ukur hadis sanad‘ali tidaklah seperti kebanyakan orang awam yang menghitungnya hanya berdasarkan bilangan sanad yang didapati berdekatan dengan Rasulullah Saw. dengan demikian bisa jadi jumlah perawi sedikit tapi najil dan jumlah dengan perawi yang banyak tetapi ‘ali. Sebagaimana contoh berikut ini al-Hakim mencontohkan jumlah perawi yang sedikit namun najil.
حدثناه جماعة من شيوخنا عن أبى الدنيا واسمه عثمان بن الخطاب بن عبد الله المغربى عن على بن أبى طالب رضى الله عنه
Sebagian ulama menyebutkan bahwa abi al-dunya pernah berkhidmat kepada amirul mukminin, al-Hakim mengatakan dia pernah menghadiri majlis abi ja’far muhammad bin ‘ubaidillah al-‘uluwi di kufah ketika itu masuk seorang syaikh berkulit hitam dan berambut putih dan berkata kepada semua orang yang menghadiri majlis tersebut apakah kalian tahu siapakah dia (abu al-Dunya), [12] kami menjawab: tidak, syeikh tersebut berkata: nama Abi al-dunya al-magribi tersebut di nisbahkan kepada mantan budak amirul mukminin. Dengan jarak empat generasi.
2.      Al-‘Ilmu bi al-Nazil.
Al-Hakim menyanggah pendapat bahwa dengan mengetahui sanad ‘ali akan dapat diketahui sanad nazil, ini karena menurutnya sanad nazil  memiliki beberapa tingkatan yang hanya diketahui oleh para ahli hadis.
حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ نُمَيْرٍ وَزُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ قَالَا حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يَزِيدَ قَالَ حَدَّثَنِي سَعِيدُ بْنُ أَبِي أَيُّوبَ قَالَ حَدَّثَنِي أَبُو هَانِئٍ عَنْ أَبِي عُثْمَانَ مُسْلِمِ بْنِ يَسَارٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ
عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ سَيَكُونُ فِي آخِرِ أُمَّتِي أُنَاسٌ يُحَدِّثُونَكُمْ مَا لَمْ تَسْمَعُوا أَنْتُمْ وَلَا آبَاؤُكُمْ فَإِيَّاكُمْ وَإِيَّاهُمْ
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin ‘Abdillah bin Numair dan Zuhair bin Harbin berkata telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin yazid berkata telah menceritakan kepada kami Sa’id bin Abi Ayub berkata telah menceritakan kepada kami abu Hani dari ‘Usman Muslim bin Yasar dari Abi Hurairah dari Rasulullah Saw bahwasanya beliau bersabda: kelak di akhir zaman akan datang kepada umatku segolongan orang yang akan membicarakan kepadamu sesuatu yang kamu dan bapak-bapakmu belum pernah mendengar sebelumnya, hati-hati jauhilah mereka.
Salah satu bentuk sanad nazil  adalah ialah jumlah perawi sama tetapi salah satunya memiliki nilai lebih tinggi dibanding yang lainnya,maka cara menentukan yang lebih tinggi adalah dengan menetukan syaikh yang lebih dulu meninggal. Salah satu faktor pembantu untuk mengetahui najil adalah hendaknya para talib al-hadis  melihat usia syaikh yang diriwayatkannya, maka siapa yang paling dekat usianya itulah yang lebih tinggi derajatnya.
3.      Al-Masanid min al-Asanid.
Ilmu tentang mengetahui musnad-musnad dari hadis-hadis merupakan salah satu cabang ilmu yang sangat penting. Hal inidikarenakan perbedaan ulama tentang kehujjahan hadis yang bukan musnad. Yang dimaksud dengan hadis musnad adalah seorang muhaddis meriwayatkan dari seorang guru dengan sima’ yang jelas, demikian seterusnya hingga sampai kepada Rasulullah Saw. contohnya sebagaimana berikut:
 حدثناهأبو عمرو عثمان بن أحمد بن عبد الله الدقاق ببغداد ، ثنا الحسن بن مكرم البزاز ، ثنا عثمان بن عمر ، نا يونس ، عن الزهري ، عن عبد الله بن كعب بن مالك ، عن أبيه ، أنه تقاضى ابن أبي حدرد دينا كان له عليه في المسجد ، فارتفعت أصواتهما حتى سمعه رسول الله صلى الله عليه وسلم فخرج حتى كشف ستر حجرته ، فقال : « يا كعب ضع (1) من دينك هذا » وأشار إليه أي الشطر « قال : نعم . فقضاه
Telah menceritakan kepada kami Abu ‘Amru ‘Usman bin Ahmad bin ‘Abdullah al-Diqaqi Bagdadi, telah menceritakan kepada kami Hasan bin mukrim al-Bazazi, telah menceritakan kepada kami ‘Usman bin ‘Umar, telah menceritakan kepada kami Yunus dari Zahri dari ‘Abdullah bin Ka’ab bin Malik dari ayahnya, bahwasanya suatu ketika di mesjid dia berperkara denganIbn Ubay terkait hutang yang ia miliki. Sehingga keduanya bersuara lantang dan terdengar oleh Rasulullah Saw. kemudian beliau keluar sehingga penutup ruangan beliau tersingkap dan berkata: wahai Ka’ab tinggalkanlah hutangmu ini, Rasulullah Saw. mengisayaratkan untuk membyar separuh hutangnya. Ka’ab berkata: baik ya Rasul kemudian beliau membayarnya.

4.      Al-Mauquf min al-Riwayat
Hadis mauquf adalah hadis yang sanadnya terhenti kepada Sahabat dan tidak sampai kepada Rasul. Contohnya sebagaimana berikut:
َنَا الزُّبَيْرُ بْنُ عَبْدِ الْوَاحِدِ الْحَافِظُ ، بِأَسَدِ آبَادَ ، ثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ أَحْمَدَ الزِّئْبَقِيُّ ، ثَنَا زَكَرِيَّا بْنُ يَحْيَى الْمُقْرِئُ ، ثَنَا الْأَصْمَعِيُّ ، ثَنَا كَيْسَانُ مَوْلَى هِشَامِ بْنِ حَسَّانٍ ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ سِيرِينَ ، عَنِ الْمُغِيرَةِ بْنِ شُعْبَةَ ، قَالَ : " كَانَ أَصْحَابُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْرَعُونَ بَابَهُ بِالْأَظَافِيرِ
Telah menceritakan kepada kami Zubair bin ‘Abdul Wahid al-Hafidz Ba’sadabazd, telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ahmad al-Zaibaqi, telah menceritakan kepada kami Zakariya bin Yahya al-Munqari telah menceritakan kepada kami al-‘Ashma’i telah menceritakan kepada kami Kaisan bekas budak Hisyam bin Hasan dari Muhammad bin Siirin dari Mugirah bin Syu’bah berkata: adalah Shahabat Rasulullah Saw. mengetuk pintu Rasulullah Saw. dengan kuku-kuku mereka.
            Menurut al-Hakim hadis di atas banyak dipahami orang sebagai hadis Musnad oleh orang yang tidak memiliki kedalam ilmu,  padahal hadis di atas adalah hadis mauquf yang terhenti kepada Shahabat yang saling meriwayatkan antara satu dengan yang lain.[13]
5.      Al-Asanid allati la yadzkuru sanadaha min Rasulillah Saw.
Hadis yang sanadnya tidak disebutkan berasal dari Rasulullah Saw. pembahasan ini merupakan pembahasan yang mempunyai sekala besar dalam penyebutan sanad-sanad dalam ulumul hadis, di antara jenis lain dari hadis musnad adalah jika dalam hadis terdapat perkataan sahabat yang dikenal persahabatannya dengan Rasulullah seperti redaksi yang memuat kata-kata:“أمرنا أن نفعل كذاdan نهينا عن كذا وكذا  dan كنا نؤمر بكذا  dan  كنا ننهى عن كذا” dan lain-lain sebagainya.
E.     Kesimpulan
Al-Hakim adalah seorang pakar hadis yang muncul kepermukaan pada abad 4 H, nama lengkapnya adalah Abu ‘Abdullah Muhammad bin 'Abdullah bin Muhammad ibn Hamdawaih bin Nu’aim al-Dabbi al-Tahmani al-Naisaburi atau yang lebih dikenal sebagai Abu ‘Abdullah al-Hakim al-Naisaburi atau Ibn al-Bayyi’.Banyak karya yang dihasilkannya salah satunya adalah kitab yang berjudul “Ma’rifah ‘Ulum al-Hadis”. Dalam kitab ini beliau membagi jumlah cabang ilmu hadis menjadi 52 cabang ilmu, yang meliputi pembahasan tentang sanad, matan, sanad matan, perawi, derajat hadis dan hal ihwal periwayatan.
Dari 52 cabang ilmu yang al-hakim jelaskan terdapat kurang lebih 12 cabangilmu yang membicarakan tentang sanad yaitu: ‘Ali al-Isnad, Al-‘Ilmu bi al-Nazil, Al-Masanid min al-Asanid, Al-Mauquf min al-RiwayatAl-Asanid allati la yadzkurusanadaha min Rasulillah Saw, Al-Mursal al-mukhtalif fii al-ihtijaji biha, Al-Munqati’ min al-Hadis, Al-Musalsal min Al-Asanid, Al-Ahadisu al-Mu’an’anah, Al-Mu’dalmin al-Riwaayaati, Al-Mudallisiin, Tashiifatu al-Muhaddisiina fi al-Asanid.
Dari kedua belas cabang ilmu tentang sanad tersebut, penulis meneliti hanya sebagiannya, yaitu mengenai teori tentang‘Ali al-Isnad Menurut al-Hakim untuk mengetahui tulak ukur hadis sanad ‘ali tidaklah seperti kebanyakan orang yang menghitungnya hanya berdasarkan bilangan sanad yang didapati berdekatan dengan Rasulullah Saw. tetapi bisa jadi jumlah perawi sedikit tapi najil dan jumlah dengan perawi yang banyak tetapi ‘ali. Al-‘Ilmu bi al-Nazil menurut al-Hakim  tidak serta merta bahwa dengan mengetahui sanad ‘ali akan dapat diketahui sanad nazil, ini karena menurutnya sanad nazil  memiliki beberapa tingkatan yang hanya diketahui oleh para ahli hadis. Al-Masanid min al-Asanid, menurut al-Hakim yang dimaksud dengan hadis musnad adalah seorang muhaddis meriwayatkan dari seorang guru dengan sima’ yang jelas, demikian seterusnya hinggasampaikepadaRasulullah Saw (marfu’). Al-Mauquf min al-RiwayatHadis mauquf adalah hadis yang sanadnya terhenti kepada Sahabat dan tidak sampai kepada Rasul. Al-Asanid allati la yadzkuru sanadaha min Rasulillah SawHadis yang sanadnya tidak disebutkan berasal dari Rasulullah Saw.




DAFTAR PUSTAKA
Hasjim Abbas, Kritik Matan Hadis (Versi Muhaddisin dan Fuqaha), Yogyakarta: Teras. 2004

Khatib al, M. Ajaj,Ushul al-Hadis. Beirut: Dar al-fikr, t.th.

Naisaburial-,Al-hakim,Ma’rifah ‘ulum al-Hadis. Qairo: Maktabah al-Mutanabbi, t.th.

Najwah,Nurun, “Al-Mustadrak ‘ala al-Sahihain al-Hakim”, dalam M. Alfatih Suryadilaga (ed),  Studi Kitab Hadis, Yogyakarta: Teras, 2009.







[1] Hasjim Abbas, Kritik Matan Hadis (Versi Muhaddisin dan Fuqaha), (Yogyakarta: Teras, 2004), hlm. V.
[2]Al-Hakim al-Naisaburi, Ma’rifah ‘ulum al-Hadis,(Qairo: Maktabah al-Mutanabbi, t.th), hlm. ج
[3] Diantara ulama terkenal itu ialah Imam al-Bukhari, Imam Muslim, Abu Daud, al-Tirmidzi, al-Nasa'I, dan ibn Majah.

[4]Nurun Najwah, “Al-Mustadrak ‘ala al-Sahihain al-Hakim”, dalam M. Alfatih Suryadilaga (ed),  Studi Kitab Hadis, (Yogyakarta: Teras, 2009), hlm. 240.

[5]Nurun Najwah, “Al-Mustadrak ‘ala al-Sahihain al-Hakim”... hlm. 241.

[6]Nurun Najwah, “Al-Mustadrak ‘ala al-Sahihain al-Hakim”... hlm. 241-242
.
[7]Nurun Najwah, “Al-Mustadrak ‘ala al-Sahihain al-Hakim”... hlm. 242.

[8]Nurun Najwah, “Al-Mustadrak ‘ala al-Sahihain al-Hakim”... hlm. 243.

[9]Al-hakim al-Naisaburi, Ma’rifah ‘ulum al-Hadis, (Qairo: Maktabah al-Mutanabbi, t.th), hlm. 263-266. 
[10] M. Ajaj al-Khatib, Ushul al-Hadis, hlm 368

[11]Al-Hakim al-Naisaburi, Ma’rifah ‘Ulum al-Hadishlm. 7.
[12]Al-Hakimal-Naisaburi, Ma’rifah ‘Ulum al-Hadi Hlm. 10.
[13]Al-hakim al-Naisaburi, Ma’rifah ‘ulum al-Hadis...hlm. 19.