Muhammad Mushthafa al – Siba’i
(1915-1964)
Ahli Hadis yang Memimpin Perjuangan
Melawan Melawan Imperialisme
A.
Biografi singkat Muhammad Mushthafa
al – Siba’i
Nama
lengkap beliau adalah Mushthafa bin Husni al-Siba’i. beliau lebih dikenal
dengan nama al-Siba’i. Dilahirkan di kota Hims, Syria pada tahun 1915. beliau
berasal dari kalangan Ulama. Ayah dan kakeknya adalah seorang khatib terkenal
di masjid Raya Hims. Dalam dunia Islam Al-Siba’i dikenal sebagai seorang tokoh
gerakan Islam yang alim dan faqih. Al-Siba’i amat terwarnai oleh sosok sang
ayah, Syeikh Husni Al-Siba`i. Seorang Ulama yang gigih menantang kaum
imperialis. Ayahnya berjuang dengan harta dan jiwanya dalam menghadapi
penjajahan Perancis. Al-Siba`i pun kerap mengikuti pengajian yang dibawakan
oleh ayahnya.
Pada
usia empat puluh sembilah tahun, yaitu tepatnya pada hari Sabtu, 3 Oktober
1964, bertepatan dengan 27 Jumadil ‘Ula 1384 H, Muhammad Mushthafa al – Siba’i,
menghembuskan napas terakhirnya
untuk menghadap Rabb-Nya Yang Abadi.
beliau pergi setelah melalui perjuangan dengan segudang jasa bagi umat Islam
dunia.
Adapun
mengenai sejarah ringkas pendidikan, kepribadian serta karya beliau adalah
sebagai berikut ini :
1).
Pendidikan Muhammad Mushthafa Al-Siba’i
Sejak
kecil Al-Siba’i melewati pendidikan pertama dilingkungan keluarga. ia menghafal
Al-Quran dan mempelajari dasar ilmu-ilmu Islam dibawah asuhan sang ayah. Sejak
kecil kecerdasannya sudah terlihat, ia menyelesaikan sekolah formal tingkat
dasar dengan nilai yang memuaskan. Kemudian ia melanjutkan sekolah formal
tingkat atas syariah. Tahun 1933, ketika berusia delapan belas tahun, ia
meneruskan pendidikannya ke Universitas Al-Azhar, Mesir. Ia mengambil spesialisasi
fiqh, kemudian jenjang selanjutnya ia mengambil Usuluddin, dan meraih ijazah dengan
predikat yang memuaskan. Di Universitas yang sama ia melanjutkan program
Doktoralnya. Pada tahun 1949 ia dapat meraih gelar doktor di bidang Syariah
Islamiyah dengan predikat summa cumlaude. Disertasinya berjudul “al-Sunnah wa
Makānatuha Fi al-Tasyri”. Dalam disertasi tersebut Al-Siba'i menyanggah habis argumen kaum
Orientalis dan juga beberapa Ulama hadis yang meragukan tentang kedudukan
sunnah dalam syariat Islam. Beliau pun menulis buku khusus tentang orientalis
dengan judul "al-istisyraq Wal Mustasyriqun" (Orientalisme dan kaum Orientalis).
Pada
waktu menempuh pendidikan di Mesir inilah ia menjalin hubungan harmonis dengan
Imam Hasan Al-Banna, pendiri gerakan al-Ikhwān al-Muslimūn. Keharmonisan itu terus berlanjut
hingga Al-Siba’i pulang ke tanah airnya. Tahun 1942 berdirilah al-Ikhwān
al-Muslimūn Suriah yang merupakan penyatuan lembaga-lembaga dakwah di Suria. al-Ikhwān
al-Muslimūn ini dipimpin sendiri oleh al-Siba’i.
2.
Kepribadian Muhammad Mushthafa Al-Siba’i
Kehidupan
yang sulit dan keras, ditambah kekuatan imperialis yang masih merongrong
kemerdekaan tanah airnya, mempengaruhi kepribadiaan dan pola berpikir Al-Siba’i.
Sikap ksatria dan patriotik tertanam dalam pribadinya. Di usia yang masih
sangat belia, ia telah berani melawan kaum penjajah. Ia aktif dalam kegiatan
merebut kemerdekaan. Sehingga pada tahun 1931, ia telah merasakan dinginnya dinding
penjara untuk kali pertama. Ia ditahan penjajah Perancis dengan tuduhan
mengkoordinir penyebaran selebaran yang mengkritik kebijakan Perancis. Tatkala
mengeyam pendidikan Jami’at Al-Azhar. Ia bersama para rekanrekannya turut andil
dalam unjuk rasa menentang penjajahan Inggris. Akhirnya ia pun harus meringkuk
dalam sel. Tiga bulan berlalu, ia dipindahkan ke penjara Palestina selama empat
bulan. Setelah itu ia dibebaskan dengan jaminan. Ia tidak diperkenankan untuk
kembali ke Mesir, karena dianggap pioner gerakan anti Inggris.
Pada
tahun 1945, al-Siba’i dijebloskan ke dalam penjara oleh pihak Perancis untuk
yang kedua kalinya, akibat khutbah jumatnya di Masjid Raya Hims yang dianggap
mengobarkan ruh jihad melawan penjajah. Pada tahun 1948, Ia menggerakkan al-Ikhwān
al-Muslimūn. Suriah untuk Jihad Palestina melawan Zionisme Yahudi bersama
pasukan Ikhwān Irak yang dipimpin oleh Muhammad Mahmud Showwaf dan Ikwan Mesir
yang dipimpin oleh Abdurahman Al Banna, serta Ikhwan Yordania. Ia terjun dengan
semboyan ”Mati di jalan Allah adalah cita-cita tertinggi kami”.
3.
Karya-Karya Muhammad Mushthafa Al-Siba’i
Sebagai
seorang penulis produktif, tentu al-Siba`i telah menghasilkan banyak karya,
diantara salah satu karya beliau yang sangat terkenal adalah “As-Sunnah Wa makanatuha Fî At Tasyri”. Disertasi beliau dengan predikat Summa
Cumlaude di al-Azhar. Karya beliau ini sudah diterjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia berjudul “Sunnah dan Peranannya Dalam Penetapan Hukum Islam, Sebuah
Pembelaan Kaum Sunni “ Oleh DR. Nurcholish Madjid Karya beliau ini Merupakan
Tanggapan terhadap pemikiran Ahmad Amin dalam Kitab Fajrul Islam, Wa
Dhuhauhu wa Dzuhuruhu dan pemikiran Mahmud
Abu Rayyah (w. 1970 M) dalam
karyanya, "Adlwa’ ‘Ala al-Sunnah al-Muhammadiyyah . Meraka
adalah Tokoh yang banyak mengikuti pemikiran orientalis dalam meragukan Kehujjahan
as Sunnah.
Adapun
karya beliau yang lainnya adalah al-mar’ah Baina al-Fiqh wa al-Qanun,
Hakadza ‘Allamatni al-hayāh, al-Sirah annabawiyah Durus wa ‘Ibar, al- Din wa
ad-daulah Fi al-Islām, al-isytisyraq wa Al-musytasyriqun (Orientalisme dan kaum Orientalis), Jihâduna Fi
Falistin, Manhajuna Fi Al-islhah, As-shira Bainal qalb wal `Aql, dan masih banyak lagi yang lainnya.
B.
Pemikiran al - Siba’i mengenai
kedudukan Sunnah dalam Islam
al-Siba’i
adalah seorang sunni, sehingga pemikiran-pemikirannya pun mengenai hadits dipengaruhi
oleh pemikiran orang-orang sunni. Pemikiran-pemikirannya merupakan sebuah
pembelaan kaum sunni mengenai hadits. Dikalangan sunni, ia dikenal sebagai Nashir
al-Sunnah.
Berangkat dari pemikiran-pemikiran para Ulama modern mengenai hadits yang ia
anggap nyeleneh. al-Siba’i merasa perlu adanya
pelurusan pemikiran-pemikiran tersebut. Mengingat bahwa hadits adalah sumber
yang paling penting setelah al-Qur’an dalam ajaran Islam. Dalam mendefinisikan al-sunnah, tidak jauh berbeda dengan
ulama-ulama sebelumnya. Menurutnya, sunnah secara etimologis adalah jalan, baik
yang terpuji maupun yang tercela. Sedangkan menurut terminologi, ia mengambil beberapa
pengertian menurut para ahli hadits, ahli fiqh, dan ahli Ushul.
Dalam
disertasinya, al-Sunnah wa Makanatuha Fi al-Tasyri’ al-Islami, al-Siba’i menyebutkan:
“Pada
masa Nabi, para sahabat memahami hukum-hukum syara’ langsung dari al-Qur’an.
Dan kebanyakan ayat-ayat al-Qur’an itu turun secara garis besar dan tanpa ada
perinciannya. Terkadang ayat-ayat itu turun dalam bentuk umum (muthlaq), tanpa
adanya batasan. Seperti perintah shalat, dalam al-Qur’an diungkapkan secara
garis besar, tidak ada keterangan berapa jumlah rakaatnya,tata caranya maupun
waktu-waktunya. Perintah zakat, datang secara global tanpa batasan jumlah minimal
harta yang wajib, tidak pula dijelaskan ukuran dan syarat-syaratnya zakat, dan
masih banyak lagi hukum-hukum yang tidak mungkin dilaksanakan tanpa adanya
kejelasan mengenai syarat-syarat, rukun-rukun dan hal-hal yang membatalkannya.
Oleh karena itu, wajib kembali kepada Rasulullah SAW; untuk mengetahui
hukum-hukum itu secara rinci dan jelas.”
Menurut
al-Sibā’i, sebagaimana yang disepakati oleh jumhur ulama, sunnah memiliki kedudukan penting dalam
menetapkan hukum. Ia menduduki tingkat kedua setelah al-Qur’an. Suatu hukum
tidak akan bisa ditetapkan tanpa bantuan sunnah. Sunnah merupakan penjelas bagi ayat
al-Qur’an. Ia adalah tafsir terbaik bagi al-Qur’an setelah al-Qur’an itu
sendiri. Mengutip pendapatnya Imam Syafi’i, mengenai ayat al-Qur’an surat
al-Nahl ayat 89 :
4 $uZø9¨tRur øn=tã |=»tGÅ3ø9$# $YZ»uö;Ï? Èe@ä3Ïj9 &äóÓx« Yèdur ZpyJômuur 3uô³ç0ur tûüÏJÎ=ó¡ßJù=Ï9 ÇÑÒÈ
“Dan Kami
turunkan kepadamu Al kitab (Al Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk
serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri”
Mengenai
ayat ini, khususnya lafadz tibyaanan tersebut bermaksud menjelaskan prinsip-prinsip
dan juga cabang-cabangnya. Memang terkadang al-Qur’an memberikan ajaran-ajaran
yang terinci, sehingga tidak memerlukan lagi penjelasan. Namun terkadang pula
al-Qur’an mengandung ajaran-ajaran yang sifatnya global, tidak ada penjelasan
secara terinci dalam al- Qur’an itu sendiri. Sehingga untuk mengetahui
ajaran-ajaran tersebut diperlukan keterangan yang terinci dan keterangan
tersebut hanya akan didapatkan dari penjelasan-penjelasan Rasul. Karena Allah
telah memerintahkan umat manusia untuk menaati Allah dan Rasul-Nya.
C.
Seputar Penulisan, Kodifikasi dan
Pemalsuan Hadis
Penulisan
hadis yang tertunda mengakibatkan adanya ketidak jelasan berapa jumlah hadis
Nabi dan banyaknya kemungkinan pemalsuan terhadap hadits Nabi. Pro-kontra
sekitar penulisan hadits Nabi ini pada dasarnya dilatarbelakangi oleh adanya
dua hadits yang tampaknya kontradiksi. Yakni hadits yang melarang penulisan hadits
dan yang memperbolehkannya.
Menurut
al-Siba’i diantara kedua hadis tersebut tidaklah terjadi kontradiksi. Ia
menolak digunakannya naskh sebagaimana yang dilakukan oleh Rasyīd Ridhā
untuk menyelesaikan kedua hadits tersebut. Menurutnya, metode naskh selalu digunakan sebagai metode
terakhir dalam menyelesaikan hadis-hadis yang nampaknya kontradiksi.
Menurutnya, larangan menulis hadits tersebut bukanlah larangan secara mutlak,
akan tetapi larangan tersebut adalah larangan pencatatan hadits secara resmi
sebagaimana halnya pencatatan al-Quran. Izin pencatatan hadits diberikan dalam
keadaan-keadaan dan keperluan khusus serta kepada sebagian shahabat yang
menulis untuk mereka sendiri.
Al-Siba’i
mengatakan bahwa tahun 40 H adalah batas pemisah antara kemurnian sunnah dan
kebebasannya dari kebohongan dan pemalsuan disatu pihak, dan ditambah-tambahnya
sunnah itu serta digunakannya sebagai alat untuk melayani berbagai kepentingan
politik dan perpecahan internal Islam. Setelah perselisihan antara Ali dan
Mu’awiyah yang berakhir dengan peperangan yang banyak menumpahkan darah dan
mengorbankan jiwa, serta orang-orang muslim berpecah-pecah menjadi berbagai
kelompok dan partai, setelah Ali dan Muawiyah wafat, merebaklah
pemalsuan-pemalsuan hadis. Menurut al-Siba’i, seseorang yang pertama kali
berani memalsukan hadits adalah kaum syi’ah, kemudian diikuti oleh kaum sunni
dan khawarij.
Pemalsuan
terhadap hadis semakin merebak hingga sampai pada masa kekhalifahan Umar bin
Abdul ‘Aziz. Karena khawatir hilang, serta adanya penambahan dan pengurangan
terhadap hadits, khalifah Umar berinisiatif untuk mengumpulkan dan mencatatnya.
Akhirnya ia memerintahkan al-Zuhri seorang pakar hadits pada masa itu untuk
mengumpulkan dan menuliskannya. Telah disebutkan bahwa penulisan hadits yang
tertunda menyebabkan adanya keraguan-keraguan terhadap otentisitas hadis.
Al-Siba’i membantah tuduhan yang dilontarkan Goldziher bahwa al-Zuhri telah
mereka-reka hadis. Secara rinci al-Siba’i mengemukakan serangan-serangan
terhadap argumen Goldziher tersebut, yang oleh al-Siba’i sendiri disebut
“serangan-serangan Goldziher”. Inti dari serangan ia adalah bahwa al-Zuhri
tidak mungkin mereka-reka hadits. Adanya usaha menulis hadits oleh al-Zuhri ini,
justru menunjukkan bahwa mata rantai pemeliharaan dan pelestarian hadits
berjalan berkesinambungan tanpa terputus, sehingga tidak mengizinkan adanya
ruang keraguan lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar