Jumat, 02 November 2012

Definesi Hermeneutika, Sejarah Perkembangannya



Definesi Hermeneutika dan Sejarah Perkembangannya
A.    Definesi Hermenetika
Kata Hermeneutik berasal dari bahasa Yunani Hermeneuein yang berarti “menafsirkan”. Kata ini sering diasosiasikan dengan salah satu dewa Yunani, Hermes, yang dianggap sebagai utusan para dewa bagi manusia. Hermes adalah utusan para dewa dilangit untuk membawa pesan kepada manusia.
Pengasosiasian Hermeneutik dengan Hermes ini secara sekilas menunjukan adanya tiga unsur yang pada akhirnya menjadi variable utama pada kegiatan manusia dalam memahami, yaitu :
1.      Tanda, pesan atau teks yang menjadi sumber atau bahan dalam penafsiran yang diasosiasikan dengan pesan yang dibawa Hermes.
2.      Perantara atau penafsir (Hermes).
3.      Penyampaian pesan itu oleh sang perantara agar bisa dipahami dan sampai kepada yang menerima.
Dalam beberapa literatur kajian menyebut bahwa Hermeneutika adalah “proses mengubah sesuatu atau situasi ketidaktahuan menjadi tahu dan mengerti”. Definesi ini agaknya definesi yang umum, karena jika melihat terminologinya, kata Hermeneutika ini bisa diderivasikan ke dalam tiga pengertian :
1.      Pengungkapan pikiran dalam kata-kata, penerjemahan dan tindakan sebagai penafsir.
2.      Usaha mengalihkan dari suatu bahasa asing yang maknanya gelap tidak diketahui ke dalam bahasa lain yang bisa dimengerti oleh si pembaca.
3.      Pemindahan ungkapan pikiran yang kurang jelas, diubah menjadi bentuk ungkapan yang lebih jelas.
Adapun hermeneutika pada umumnya dapat dipahami dengan dua definesi, yaitu hermeneutika dengan pengertian metode, maka ia berisikan perbincangan teoritis tentang the conditions of possibility sebuah penafsiran, menyangkut hal-hal apa yang dibutuhkan atau prosedur bagaimana yang harus dipenuhi untuk menghindari pemahaman yang keliru terhadap teks. Dan hermeneutika yang dipahami dengan pengertian filsafat, maka ia lebih kompeten memperbincangkan hakikat penafsiran: bagaimana suatu kebenaran bisa muncul sebagai sebuah kebenaran, atau atas dasar apa sebuah penafsiran dapat dikatakan benar.
Secara lebih luas Hermeneutika didefinesikan oleh Zygmunt Bauman sebagai upaya menjelaskan dan menelusuri pesan dan pengertian dasar dari sebuah ucapan atau tulisan yang tidak jelas, kabur remang-remang dan kontradiktif yang menimbulkan kebingungan bagi pendengar atau pembaca.
Yang pada intinya dapat kita pahami bahwa hermeneutika adalah disiplin yang relatif  luas mengenai teori penafsiran dari yang tidak tahu, kabur, gelap, bingung menjadi tahu, terang, dan lebih jelas, . Ia mencakup metode penafsiran dan filsafat penafsiran sekaligus.

B.     Sejarah Perkembangannya
Sebenarnya Istilah hermenetika muncul secara definetif pertama kali dalam karya J.C Dannhauer, Hermeneutica Sacra Sive Methodus Exponendarums Sacrarum Litterarum yang terbit tahun 1654. Hanya saja, ini berbeda dengan dengan pengertian dan lingkup studi kontemporer mengenai hermeneutika, buku tersebut ternyata hanya terbatas pada pembicaraan tentang metode menafsirkan teks-teks Bibel (Palmer 1969:34). Baru pada Schleiermacher dan terutama oleh Wilhelm Dilthey, hermeneutika sebagai metode penafsiran direfleksikan secara filosofis. Oleh Schleiermacher, hermeneutika dimaksudkan sebagai usaha untuk mengangkat filologi dan segala disiplin penafsiran lainnya kepada level Kunstlehre, yakni kumpulan metode yang tidak terbatas pada kegiatan penafsiran yang parsial dengan membawa disiplin ini kepada perumusan prinsip-prinsip penafsiran yang lebih bersifat umum (Ricoerur 1982 : 45). Kemudian, Dilthey mengembangkan disiplin hermeneutika secara lebih dalam dengan menjadikannya sebagai fondasi metodologis bagi ilmu-ilmu kemanusian.
Tetepi kemudian dalam perkembangannya, pasca Dilthey, hermeneutika mengalami pergeseran dari fungsinya sebagai metode pemahaman dan pencari kebenaran yang mempresentasikan cara kerja epestimologi kepada kecendrungan baru sebagai sebuah filsafat dengan titik penekanan pada aspek ontologis dalam pemahaman. Hal ini membuat bahwa hermeneutika tidak semata-mata berkaitan dengan metode yang selama ini menentukan benar-salahnya sebuah penafsiran. Tapi, hermeneutika justru harus merefleksikan apa-apa yang berada di balik berbagai metode dan keterbatasan setiap klaim kebenaran pemahamn manusia.
Akan tetapi pergeseran mutakhir ke arah ontologi tersebut ternyata hanya bersifat sementara, sebagaimana dicatat oleh Ellman Crasnow, sebab hermeneutika kontemporer kemudian berkembang lagi menjadi disiplin yang mencakup segala teori tentang interpretasi. Yang berarti jika yang pertamamengarahkan penyelidikan pada pengujian kan kemungkinan diperolehnya “makna” objektif” (meaning) yang dibedakan dengan “artinya” (significance) bagi kita sekarang, maka yang terakhir ini berusaha merumuskan pedoman interpretasi atau yang disebut “the canon of the outonomy of the object” untuk membimbing penafsiran agar tidak terjatuh pada supremasi subjektifitas penafsir.  

1 komentar: