Minggu, 08 Februari 2015

Sahabat Nabi; Siapa, ke Mana, dan Bagaimana? Karya Fuad Jabali



Sahabat Nabi; Siapa, ke Mana, dan Bagaimana? Karya Fuad Jabali
Sebuah ulasan oleh Baihaki

Membicarakan tentang kredibilitas para Sahabat memang menjadi suatu hal yang penting, ketika para ulama, baik terdahulu maupun sekarang, berusaha merumuskan apa pun tentang Islam, seperti yang ditemukan dalam berbagai buku/kitab, mereka akan melihat pemikiran dan tindakan Sahabat baik sebagai model maupun sebagai pewaris model (yang dikembangkan Nabi). Karena sahabat adalah orang yang menjadi saksi primer dalam kehidupan Nabi itu sendiri.
Sebuah disertasi yang ditulis oleh Fuad Jabali dengan judul terjemahan dalam bahasa Indonesia Sahabat Nabi; siapa, ke mana dan bagaimana?, merupakan sebuah karya yang luar biasa dan banyak menarik perhatian para ulama, terutama ulama yang konsen dalam bidang hadis. Pembahasannya tentang sahabat sebagaimana yang dikatakan oleh Azyumardi Azra dalam pengantar bukunya, Fuad Jabali berusaha membahasnya tidak dengan semangat untuk mengarahkan atau memposisikan kepada paham keagamaan tertentu. karena sebagaimana kita ketahui, pembahasan ini adalah pembahasan yang sangat sensitif yang menyebabkan masyarakat Islam terpecah menjadi dua golongan besar: Sunni dan Syiah dalam menanggapi masalah konflik Sahabat ini.
Pihak Sunni beranggapan dengan kaidahnya yang terkenal kullu al-sahabati al-‘udulu yaitu bahwa semua sahabat itu adil, sehingga perbincangan konflik antar sahabat merupakan sesuatu yang tak perlu disinggung lebih jauh karena hanya akan menggangu secara teologis. Sedangkan dari pihak lain yakni syi’ah, beranggapan sebaliknya, bahwa tidak semua sahabat itu adil, karena para sahabat juga hanya manusia biasa yang bisa melakukan kesalahan (berbuat yang tidak adil), tidak seperti nabi yang ma’sum yang terjaga dari kesalahan dari yang diwahyukan tentang keagamaan. Tetapi Fuad Jabali berhasil dalam menangkap itu sehingga dia tidak terperangkap dalam pengaruh yang membenarkan salah satu paham terhadap pertentang Sunni dan Syiah tersebut.
Kemudian kesimpulan yang Fuad Jabali dapatkan adalah bahwa konflik antar sahabat (atau kalau diperluas: konflik pada masa awal Islam) sangat dipengaruhi jarak antara masing-masing orang yang terlibat konflik tersebut dengan prinsip-prinsip kenabian. Kesimpulan ini bisa memberikan catatan penting bagi para peneliti yang menekankan aspek kesukuan sebagai penjelas konflik dalam masyarakat Arab.
Dalam memahami korps sahabat terdapat dua hal penting, pertama istilah sahabat muncul karena adanya Nabi. Semakin dekat hubungan sahabat kepada Nabi, maka semakin tinggi posisi yang didapatkannya. Kedua, sebab kenabian adalah jabatan agama, maka jabatan sahabat yang sangat terkait dengan kenabian juga merupakan bagian dari jabatan agama.
Peranan para sahabat yang besar telah diakui bahkan semenjak Nabi wafat. Para sahabat baik yang elit maupun yang biasa, berperan penting bukan hanya dalam menegakkan dasar-dasar tatanan sosial dan politik di Madinah, tetapi juga dalam penyebaran masyarakat Muslim masa awal di luar Madinah dan keberhunian mereka pada tahan-tanah yang baru ditaklukan. Faktor yang mendukung perpindahan dan keberhunian ini menurut Fuad Jabali, disamping faktor sosial ekonomi, penunjukan jabatan/pengaruh keluarga atau figur penting, politik atau pengusiran adalah faktor kesatuan “Islam-hijrah-Jihad” yang merupakan faktor yang terpenting.
Madinah menjadi simbol otoritas politik dan ekonomi untuk daerah hunian yang baru. Sejauh menyangkut pemilihan khalifah baru, keputusan yang diambil oleh orang Madinah akan disetujui oleh semua orang-orang yang tinggal pada hunian baru. Kenyataan bahwa para sahabat yang masuk Islam lebih awal menjadi figur kunci, baik di Madinah maupun di pusat hunian-hunian baru yang menjadi jaminan untuk memelihara komunikasi dan tatanan yang baik.
Namun keadaan itu berubah ketika Utsman ibn Affan menjadi khalifah. Konsep Islam-Hijrah-Jihad telah mendorong sahabat yang tinggal di madinah untuk meninggalkan kota ini menuju hunian baru, dimana ketika masa Umar bin Khattab perpindahan sahabat dari kota Madinah terdapat pengontrolan penyebaran dari Umar bin Khattab sehingga untuk menjamin bahwa dia memilki sahabat dalam jumlah yang cukup disekitarnya. Hal ini tidak dilakukan oleh Usman bin Affan, banyakanya Sahabat yang awalnya berada di Madinah kemudian berpindah ke hunian yang baru sehingga menyebabkan Madinah sebagai pusat kekuasaan agama, politik dan ekonomi menjadi kota yang kekurangan sahabat sama sekali, bahkan ketika dia terbunuh para sahabat banyak yang berada di luar Madinah. Sehingga tidak mengherankan kemudian keputusan Ali, khalifah selanjutnya meninggalkan Madinah dan pergi ke pusat hunian baru untuk mendapatkan dukungan sahabat yang lain dalam keadaan seperti ini.
Lantaran sahabat merupakan pemain utama dalam sejarah abad pertama, konflik dalam masyarakat Muslim pada saat itu bisa direduksi menjadi percekcokan yang melibatkan kelompok ini. Oleh karena itu, untuk memahami semua peristiwa pada masa itu, seseorang harus memahami sepenuhnya siapa sahabat itu sebenarnya, bagaimana tingkatan dalam kelas mereka, dan bagaimana hubungan internal mereka.
 Perang shiffin yang terjadi bisa dijelaskan dengan persfektif ini, perang yang terjadi antarkelompok yang berbeda dalam hal kesahabatan dan ide-ide keagamaan. Atau dengan kata lain ini adalah peperangan yang terjadi antara orang-orang yang dekat dengan Nabi (baik dalam hal hubungan darah maupun pesan-pesan keagaamaan yang dibawa Nabi) dan orang-orang yang kurang dekat dengannya.
Faktor-faktor sosial dan ekonomi juga menjadi faktor yang bekerja di balik konflik ini. Ali dan para pendukungnya, karena dekat dengan Nabi dan termasuk pemeluk Islam lebih awal, menikmati status sosial yang tinggi dan keuntungan ekonomi. Mu’awiyah dan para pendukungnya, secara kontras mengalami penderitaan sosial dan ekonomi. Dengan kata lain, perang shiffin ini adalah perang antara yang kaya dan yang termiskinkan. Karena orang-orang makmur pada masa khalifah umar kehilangan hak-hak istimewanya pada masa khalifah Usman bin Affan. Di bawah kebijakan Usman orang-orang yang masuk Islam belakangan secara perlahan mengambil alih posisi yang sebelumnya di isi orang-orang yang masuk Islam lebih awal. Dalam pergumulan ini umat Islam yang memeluk agama lebih awal kalah. Jadi, perang Shiffin bukanlah perang antar suku di mana Ali sering di asosiasikan dengan ahl al-‘Iraq dan Mu’awiyah dengan ahl al-Syam. padahal hal ini tidak terjadi, lantaran mayoritas pendukung Ali adalah orang-orang dari selatan, yang dekat dengan wilayah Mu’awiyah, sedangkan pendukung Mu’awiyah menunjukan suatu keadaan yang seimbang antara utara dan selatan. Akan tetapi perang terjadi antar prestasi keagamaan yaitu perang antar umat Islam yang awal masuk Islam yaitu kaum anshar dan mereka yang masuk Islam belakangan yaitu kaum Quraisy. Hal ini menunjukan bahwa faktor kesukuan menjadi faktor yang kedua.
Hal ini juga diamini oleh Jalaluddin Rahmat, walaupun terdapat bantahan pada faktor kedua. Dia setuju bahwa konflik dan aliansi politik di antara Sahabat bukan disebabkan oleh sebaran geografis atau sentimen kesukuan, melainkan pada prestasi keagamaan. Faktor inilah yang memecah Quraisy menjadi: mereka yang terkait erat dengan Nabi dan misinya dan mereka yang masuk Islam pada saat-saat terakhir.
Tetapi selanjutnya, tesis Jabali yang sangat kuat ini dan didukung dengan data yang sangat akurat, kemudian membuat Jalaluddin Rahmat keheranan kenapa Jabali masih tergoda dengan memasukkan faktor ekonomi juga berada di balik konflik politik antar sahabat ini. Jalaluddin kemudian membuat sebuah pernyataan baru yang menolak fakta tersebut dengan kenyataan sejarah bahwa Abu bakar Umar dan lebih-lebih Usman telah bersama-sama meruntuhkan kekuatan ekonomi ‘Ali dan menaikan posisi ekonomi Mu’awiyah sebagaimana yang telah Jalaluddin paparkan dalam pengantar buku karya Fuad Jabali ini.
Disini menurut penulis memang dalam memperbincangkan masalah para sahabat tidak akan mudah menemukan titik temunya, karena hal ini sudah mengakar kuat dari zaman dulu,  jika menyinggung dua kriteria paham keagamaan tersebut yaitu Sunni dan Syiah, tetapi selalu ada cara yang bisa ditempuh untuk menemukan jalan itu, salah satunya yaitu melalui dialog agama antar kedua mazhab Islam ini, khususnya tentang tema sahabat. Karena memang mustahil untuk menghapus kedua paham tersebut, atau berusaha menyatukan dua paham tersebut secara total sabagaimana usulan Mustafa al-Syak’ah, sejarawan kontemporer yang dikenal dengan gagasannya “Islam tanpa mazhab-mazhab” (Islam bila Madzahib). Jadi tujuan yang paling realistis dalam dialog ini adalah agar kedua penganut madzhab ini bisa saling memahami dan menghormati perbedaan sehingga dapat mengerti tujuan dari pihak masing-masing dan dapat hidup berdampingan secara damai. Sebab perbedaan adalah tabiat manusia dan perbedaan itu adalah rahmat jika bisa menyikapinya, sehingga hal yang paling realistis adalah mendekatkan dua aliran tersebut dan membangun sikap toleransi antar pengikutnya untuk mencapai Islam yang rahmatan lil’alamin.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar