Kritik Epistemologis Mohammed Arkoun
A.
Pendahuluan
Epistemologi merupakan salah satu istilah pokok dalam kajian
filsafat, disamping istilah ontologi dan aksiologi. Berdasarkan pengertiannya,
epistemologi dapat diartikan sebagai kajian yang menelaah tentang hakikat,
jangkauan, pengandaian, dan pertanggungjawaban pengetahuan. Namun, epistemologi
tidak hanya ditemukan secara terang-teranganan sebagai posisi atau ajaran
mengenai pengetahuan. Sebagaimana setiap pemahaman mengenai suatu kenyataan
tertentu, sikap dan tindakan yang dilakukan terhadapnya, serta tingkah laku
yang berhubungan dengannya mengandaikan suatu filsafat atau teori tersembunyi
tertentu, demikian pula setiap pengetahuan atau ilmu mengandaikan sebuah
epistemologi tertentu yang mendasarinya. Sebagaimana seorang filosof
berkewajiban mengungkap, menilai, dan mengembangkan atau mengoreksi
pengandaian-pengandaian di dalam pemahaman mengenai kenyataan, demikian pula
seorang epistemolog mempunyai kewajiban untuk menyelidiki pengetahuan atau ilmu
untuk memaparkan, menganalisis pengandaian dasar yang menjadi latar
belakangnya.[1]
Salah satu diantaranya adalah seorang tokoh filosof pemikir Islam
kenamaan kelahiran Aljazair, Mohammad Arkoun. Dia berusaha melakukan kritik
epistemologi baik terhadap para pemikir Islam maupun terhadap orientalis Baratdengan
melakukan rekontruksi epistemologi. Untuk lebih jelasnya, apa, mengapa dan
bagaimana kritikMohammad Arkoun dalam epistemologinya, akan dijelaskan lebih
lanjut dalam makalah ini.
B.
Biografi Mohammed Arkoun
Mohammed
Arkoun lahir pada tanggal 1 Februari 1928 di Taorit-Mimoun, Kabilia, Aljazair.[2]Keluarga
Arkoun berdomisili di perkampungan Berber[3],
yakni sebuah permukiman di kaki gunung Taorit-Mimoun, Kabilia, sebuah daerah di
sebelah timur Aljir, Aljazair. Keluarga Arkoun sebagaimana keluarga Berber pada
umumnya menggantungkan hidup dari hasil pertanian, ternak dan berdagang
kerajianan tangan.Arkoun sejatinya memang berasal dari keluarga yang
biasa-biasa saja dan disebutkan bahwa masyarakat Arkoun juga memiliki strata
social yang rendah.[4]Mereka
menggunakan bahasa Kabilia Berber sebagai bahasa ibu, dan bahasa Arab sebagai
bahasa nasional.Sebelum ter-Arab-kan, mereka memakai bahasa non-Arab dalam
pergaulan sehari-hari.
Nenek
moyang Arkoun berada di Kabilia sejak sebelum Masehi.Daerah tersebut sejak lama
merupakan daerah jajahan beberapa kerajaan kuat dan Negara sampai munculnya
Negara modern Perancis.Semula mereka dikuasai oleh Imperium Yunani, kemudian
ditaklukkan oleh bangsa Arab pada tahun 682 di bawah pimpinan Uqbah ibn Nafi’
pada masa kekhalifahan Yazid ibn Mu’awiyah.Wilayah itu kemudian berada di bawah
kekuasaan Perancis sejak tahun 1830.Arkoun lahir ketika Aljazair masih berada
di bawah kekuasaan Perancis. Karenanya, sejak awal, ia terdidik dalam budaya
dan sistem pendidikan Perancis.[5]Latar
ini dianggap pula turut mengarahkan alur pemikiran Arkoun.
Sejak
kecil Arkoun telah memahami setidaknya tiga jenis bahasa, yaitu bahasa Kabilia[6]
(sebagai bahasa ibu), bahasa Arab[7]
(sebagai bahasa keagamaan), serta bahasa Perancis[8]
yang telah berkembang di daerah tersebut.[9]Dari
ketiganya, Arkoun menyadari bahwa bahasa bukan sekedar sarana teknis untuk
mengekspresikan diri.Lebih dari itu bahasa mempunyai latar belakang dan
nilainya sendiri (self value).Oleh sebab itulah Arkoun menyadari pula
akan keterbatasan yang ada pada bahasa yang bersangkutan. Sebuah bahasa tidak
jarang tidak mampu memuat makna bahasa lain.
Pendidikan
dasar Arkoun dimulai di desa asalnya, dan kemudian melanjutkan sekolah menengah
di kota pelabuhan Oran, sebuah kota utama di Aljazair bagian barat, sebuah
daerah yang jauh dari Kalibia. Arkoun melanjutkan studi bahasa dan sastra Arab
di Universitas Aljir (1950-1954), sambil mengajar bahasa Arab pada sebuah SMA
di al-Harach, yakni sebuah daerah di pinggiran Aljazair.[10]
Setelah
selesai dari Univesitas Aljir (1954)bertepatan dengan perang kemerdekaan
Aljazair dari PerancisArkoun melanjutkan studi di Universitas Sorbonne,
Perancis. Di Perancis, Arkoun masih bergelut pada bidang keilmuan yang sama,
yaitu bahasa dan kesusastraan Arab. Arkoun menetap di Paris sejak saat
itu.Sembari kuliah, Arkoun mengajar di sebuah SMA di Strasbourg (daerah di
Perancis sebelah timur laut), dan diminta memberikan kuliah di Fakultas Sastra
Universitas Strasbourg (1956-1959). Pada tahun 1961, Arkoun diangkat sebagai
dosen di Universitas Sorbonne, Paris, hingga tahun 1969, saat ketika dia
menyelesaikan pendidikan doktor di bidang sastra pada Universitas yang sama.
Pada saat itu, Arkoun mengangkat tema humanism dalam pemikiran etis Miskawaih sebagai
tema disertasinya. Selain mengajar di kampus tersebut, Arkoun juga mengajar di
beberapa Universitas, seperti Universitas Lyon, University of California,
Princeton University, Temple University, Universitas Katolik Louvain-la Neuve
di Belgia, di Berlin, Kolumbia, Denver dan Amsterdam, Tunisia, Damaskus,
Beirut, dan Teheran.[11]
Sekilas
dapat kita amati bahwa pergumulan Arkoun di bidang bahasa menjadikan produk
pemikirannya sangat kental dengan nuansa bahasa. Pengamatannya terhadap bahasa
tersebut diperkaya dengan beberapa kajian mutakhir tentang bahasa melalui
beberapa karya ilmuan, filsuf, antropolog dan teolog Barat.[12]
Ketiga
bahasa yang dikuasai oleh Arkoun sejatinya merupakan representasi dari tiga
tradisi, orientasi budaya, cara berpikir dan cara memahami yang berbeda. Bahasa
Berber Kalibia merupakan alat untuk mengungkapkan berbagai tradisi dan nilai
mengenai kehidupan sosial ekonomi yang sudah ribuan tahun usianya, bahasa Arab
sebagai sarana untuk melestarikan tradisi keagamaan Islam di Aljazair dan di
belahan dunia lainnya, serta bahasa Perancis sebagai bahasa administrasi
pemerintahan serta alat untuk mengenal nilai-nilani dan tradisi keilmuan Barat,
terutama Perancis.
Arkoun
terbilang sebagai ilmuan yang produktif dalam dunia kepenulisan. Karyanya
tersebar luas dalam format buku maupun tertuang dalam berbagai jurnal
terkemuka, seperti Arabica (Leiden/Paris), Studia Islamica
(Paris), Islamo-Christiana (Vatican), Diogene (Paris),
Maghreb-Machreq (Paris), Ulumul Qur’an (Jakarta), dan di beberapa
buku dan ensiklopedi.
Karya-karya
Arkoun yang lain adalah Traite d’ethique (tradition francaise avec
introduction et notes du Tahdhid al-Akhlaq)[13],
Contribution a l’etude de l’humanisme arabe au IVe/Xe siècle: Miskawayh
philosophe et historen (sumbangan terhadap pembahasan humanism Arab abad IV
H/ X M: Miskawaih sebagai filosof dan sejarahwan), La pensee arabe (pemikiran
Arab),Ouvertures sur l’islam (catatan-catatan pengantar untuk memahami
Islam). Dan Pour une critique de la raison islamique (demi kritik nalar
islami). Buku-bukunya antara lain: Aspects de la pensee musulmane calssique (aspek-aspek
pemikiran Islam klasik), Deux Epitres de Miskawayh (dua surat
Miskawaih), Discours coranique et pensee scientifique (wacana-wacana
al-Qur’an dan pemikiran ilmiah), Selain itu juga terdapat karya terjemahan yang
penting lainnya, seperti al-Fikr al-Islami; Qira’ah ‘Ilmiyyah, al-Fikr
al-Islami, Naqd wa Ijtihad, al-Islam; Rethinking Islam, Common Questions
Uncommon Answers, Arab Thought (Bahasa Inggris), Nalar Islam dan Nalar
Modern: Pelbagai Tantangan dan Jalan Baru, Islam: Kemarin dan Esok, Berbagai
Pembacaan al-Qur’andan lain-lain.
Karya-karya
Arkoun tersebut banyak diilhami oleh ilmuan-ilmuan Perancis seperti Paul
Ricoeur, Michel Fouchault, Jack Derrida, Rolland Barthes, dan Piere Bourdieu.
Selain itu, ia juga dipengaruhi oleh Ferdinand de Saussure, Jack Goody, dan
lain-lain.
C.
Epistemologi M. Arkoun
Sejak
awal Arkoun terus mencoba pemahaman-pemahaman yang baru tentang Islam dan kaum
Muslim dengan memakai teori-teori mutakhir yang berkembang di dunia Barat
modern.Upaya tersebut dilakukan untuk memadukan unsur yang sangat mulia dalam
pemikiran Islam dengan unsur yang sangat berharga dalam pemikiran Barat modern
(rasionalitas dan sikap kritis). Dengan demikian, Arkoun berharap akanmuncul
satu pemikiran yang bisa memberikan jawaban atas berbagai persoalan yang
dihadapi oleh kaum Muslim akhir-akhir ini.[14]
Arkoun
tumbuh bersamaan dengan perkembangan sains yang amat pesat, dan itu meliputi
hampir semua ranah keilmuan.Hal ini pula yang menyebabkan banyaknya penggunaan
istilah-istilah keilmuan bernuansa Barat dalam pemikiran dan karya Arkoun.
Menurut Arkoun, umat Islam harus membuka diri terhadap perkembangan keilmuan
Barat, salah satunya dengan memanfaatkan pemikiran-pemikiran mutakhir, sehingga
keilmuan Islam tidak terkesan jumud. Lebih lanjut menurutnya, disiplin ilmu
yang muncul belakangan di Barat tidak boleh diposisikan sebagai “ilmu bantu”
saja, tetapi harus disikapi sebagai kekayaan intelektual yang harus dikaji dan
diterapkan. Hal ini akan membantu kaum Muslim menjawab tantangan-tantangan
sosial-kemasyarakatan yang terjadi.
Sebagaimana
yang telah disebutkan bahwa Arkoun banyak terpengaruh oleh beberapa tokoh Barat
dengan spesifikasi keilmuan masing-masing.Dalam mencetuskan sebuah pemikiran,
Arkoun jelas mengambil ide dari tokoh-tokoh tersebut.Namun perlu dipahami bahwa
dalam pengambilan ide tersebut, Arkoun tidak mencomotnya secara langsung, namun
hanya sebagian saja dan terkadang memberikan makna dan pengertiannya sendiri.[15]
Arkoun
“mengambil” konsep mitos dari Ricour melalui dua karyanya, Philosophie de la
volonte (Filsafat Kehendak), dan Del’interpretation (Perihal
Interpretasi). Konsep mitos ini diambil sebagai kelanjutan dari “pemungutannya”
terhadap konsep bahasa dan semiotika milik Barthens dan de Saussure. Menurut
Ricour, mitos adalah symbol sekunder yang menjelaskan symbol primer. Mitos
digunakan untuk menjelaskan dari mana asal perbuatan manusia. Mitos adalah
tidak sama dengan bahasa rasional, dan berperan penting dalam kehidupan
manusia. Arkoun melanjutkan konsep mitos ini. Dia menjelaskan bahwa mitos
merupakan salah satu unsur terpenting dari angan-angan sosial yang membangun
kelompok-kelompok sosial. Berkaitan dengan al-Qur’an, Arkoun menilai bahwa al-Qur’an
juga bersusunan mistis dan karenanya bisa berubah menjadi mitologi.
Dari
de Saussure dan Barthens, Arkoun mengambil konsep semiotika.[16]
Dalam pembahasannya, meskipun tidak semuanya, Arkoun banyak menggunakan
analisis semiotic, meskipun akhirnya melampaui hal itu dan meloncat pada
persoalan makna, pembentukan dan perubahannya, penafsiran makna dan perubahan
pada penafsirannya.Arkoun berpendapat bahwa analisis semiotic bermanfaat untuk
melihat teks sebagai suatu keseluruhan dan sebagai suatu system dari
hubungan-hubungan intern. Dengan ini maka dalam mendekati teks seorang peneliti
terlepas dari interpretasi tertentu sebelumnya atau pra-tanggapan lainnya.
Selain itu, Arkoun juga mengambil konsep semiotis dari Derrida, meskipun pada
bagian tertentu Arkoun lebih condong pada Saussure.
Dari
Derrida, Arkoun mengambil konsep dekonstruksi.[17]
Menurut Derrida, linguistik struktural Saussure telah mengembangkan konsep
oposisi biner antara ucapan dan tulisan, makna dan bentuk, jiwa dan badan, dan
lain-lain. Walaupun keduanya berdampingan, namun yang pertama lebih superior
dari yang kedua. Dekonstruksi adalah upaya penyangkalan terhadap konsep oposisi
tersebut. Bila dikaitkan dengan tulisan dan ucapan, maka tulisan merupakan
prakondisi dari bahasa dan nada sebelum ucapan oral. Pada tahap selanjutnya,
Arkoun menyebut istilah “apa yang tak terpikirkan” (unthinkable) dan
“yang tak terpikir” (unthought).[18]
Arkoun
juga mengambil konsep episteme dan wacana dari pemikir Perancis
Foucault. Episteme adalah sistem pemikiran yang dengannya manusia menangkap
kenyataan. Sedangkan wacana adalah cara manusia membicarakan kenyataan tadi.
Setiap zaman memiliki orang dan lingkungan yang berbeda, sehingga episteme yang
mereka miliki berbeda-beda bentuknya. Hal ini kemudian berimplikasi pada
tingginya toleransi terhadap realitas heterogen dan plural di masyarakat.
Dari
penjelasan di atas dapat dipahami bahwa Arkoun “merasuki” berbagai disiplin
ilmu dengan pendekatan dan metodologi yang variatif pula. Hal ini pula yang
menjadikan pemikiran Arkoun menyentuh hampir semua cabang keilmuan Islam.
Arkoun menjelaskan bahwa ia menyukai pendekatan historis, sosiologis, dan
antropologis dengan perspektif epistemologi baru. Menurutnya, hanya dengan
pendekatan-pendekatan tersebut dapat dilakukan pembebasan Islam dari
postulat-postulat esensialis dan substansialis metafisika klasik.Namun bukan
berarti Arkoun menyisihkan pendekatan teologis dan filosofis.[19]
Dengan
berbagai konsep dan ide yang diambil Arkoun dari masing-masing tokoh tersebut,
Arkoun membangun teori dan pemikirannya, untuk selanjutnya melakukan kritik
terhadap seluruh kerangka pemikiran Islam. Kritik yang dibentuk oleh Arkoun
memiliki sisi keterkaitan antara bahasa-pemikiran-ideologi-sejarah. Dengan
menempatkan seluruh bangunan keilmuan peda tataran historis, maka semuanya
tidak ada yang sakral, bisa dikritik, dan berubah serta dibongkar.
Arkoun
menegaskan bahwa dirinya menggunakan metodologi historis-kritis yang menebarkan
rasa ingin tahu secara modern, karena metodologi ini dinilainya dapat menelusuri
studi tentang pengetahuan mistis yang tidak hanya dibatasi dengan mentalitas
lama, yaitu dengan definisi-definisi yang diberikan oleh aliran sejarah
positivistik yang diajarkan sejak abad ke-19.[20]
Arkoun
berpendapat, pertentangan yang ada pada saat ini, di antaranya adalah klaim
kebenaran teologis dari beberapa kalangan yang menyebut mereka sebagai orang
beriman. Menurutnya, salah satu kelemahan yang nampak dalam keilmuan modern
adalah literature yang miskin, serta seragam dan kadang-kadang cukup polemik
dalam menggambarkan agama-agama wahyu. Untuk menghilangkan masalah-masalah
tersebut, perlu ada perhatian lebih terhadap pengajaran dan studi sejarah
terhadap pemaparan fakta-fakta sejarah yang naratif. Untuk itu Arkoun
menyodorkan pendekatan-pendekatan semacam pendekatan historis, sosiologis, dan
antropologis, untuk memperkaya pendekatan teologis dan filosofis, dengan
menyisipkan keadaan-keadaan historis dan sosial yang selalu dipraktekkan di
dalam Islam. Metode Arkoun ini disebutnya sebagai salah satu bentuk metode
dekonstruksi, dan hanya mungkin dilakukan dengan epistemologi modern yang
kritis.[21]
Metode
dekonstruktif sendiri adalah sebuah fenomena baru di kalangan pemikir Arab
kontemporer. Di sini Arkoun bergelut dengan pemikiran mereka.
Sederhananya,
langkah Arkoun yang mengambil berbagai konsep keilmuan dari beberapa tokoh
dengan bidang yang berbeda-beda pula, mengakibatkan bervariasinya metode dan
pendekatan yang disodorkan oleh Mohammed Arkoun dalam pemikiran-pemikirannya.
D.
Implikasi bagi Pemikiran Islam
Dari
uraian di atas tadi jelaslah bahwa bangunan pemikiran Arkoun adalah campuran
dari berbagai epistemologi dari tokoh-tokoh ternama, sehingga bisa dinamakan
hasil dari pemikirannya ini adalah gabungan dari teori-teori tersebut
(gado-gado), kemudian memunculkan kesimpulannya sendiri.
Sebagai Muslim yang dibesarkan dalam
dunia yang berbeda, dan dengan bahasa yang ragam, maka dari itu Arkoun dianggap
sebagai orang yang tahu dalam banyak hal baik dalam khazanah Islam itu sendiri
maupun dalam menguasai ilmu-ilmu Barat. Sehingga penggabungan antara dunia
Barat dan Islam adalah menjadi sifat utama pemikirannya. Karena itu, tidak
mengherankan cakupan pemikirannya menjangkau berbagai persoalan dalam Islam,
masalah etika kemanusiaan, kemasyarakatan, masalah pemahaman terhadap kitab
suci dan kaitannya antara Islam dan kemodernan.[22]
Dengan
latar belakangnya itu, menjadikan Concern Arkoun terfokus pada problematika
bahasa dalam pengertiannya yang luas, bukan hanya sekedar alat kominikasi.
Hubungan antara bahasa, pemikiran, sejarah dan kekuasaan. Menurut Arkoun,
bahasa mempunyai keterkaitan erat dengan masyarakat dan pemikirannya. Artinya
pembentukan rasio bukan hanya terjadi secara intrinsik, tapi juga ekstrinsik,
yakni melalui faktor-faktor sosial politik dan relasi-relasi historis. Oleh
karena itu ia berpendapat bahwa tidak ada rasio transedental yang universal.
Yang ada hanyalah rasio-rasio yang dibatasi determinan-determinan sejarah.
Arkoun ingin menunjukan bahwa konstruksi itu mempunyai lokus sosio-historisnya
sendiri.
Berpijak
dari bahasa itulah, Arkoun melakukan kritik episteme terhadap seluruh bangunan
keilmuan islam dan orientalis Barat dengan dekonstruksi ala Derida. Menurut
Arkoun, bangunan keilmuan Islam yang ada dan diwarisi sekarang, pada mulanya tidak
bisa dilepaskan dari keterkaitan dengan ideologi resmi atau ideologi
perlawanan, hal itu mengakibatkan pemikiran keagamaan menjadi tertutup dan
dibatasi dengan sekat apriori teologis.[23]
Pada
tataran inilah Arkoun melakukan kritik terhadap logosentrisme dalam Islam yang
lahir akibat penerapan filasafat terhadap agama. Hal itu dikarenakan antara
lain:
1.
Pemikiran
Islam dikuasai oleh nalar dogmatis dan sangat terkait dengan kebenaran abadi
(Tuhan).
2.
Nalar
yang bertugas mengenali kebenaran telah menjadi sempit dan hanya berkuatat
dalam wilayah tempat kelahirannya saja.
3.
Pemikiran
Islam cendrung menutup diri dan tidak melihat matra kesejarahan, sosial,
budaya, dan etnik sehingga cenderung menjadi satu-satunya wacana yang harus
diikuti secara seragam dan memaksakan tindakan peniruan buta.
4.
Pemikiran
Islam lebih mementingkan suatu wacana lahir yang terproyeksikan dalam ruang
bahasa yang terbatas, sesuai kaedah-kaedah bahasa. Sedangkan wacana batin yang
melampaui batas-batas logosentrisme cendrung diabaikan.
Adapun
kritiknya terhadap tradisi orientalis Barat adalah bahwa orientalis barat hanya
mendekati Islam melalui karya tulis para tokoh yang dianggap besar dan mewakili
dan mereka sangat positivis sehingga mengingkari hal-hal yang berada diluar
jangkauan manusia. Arkoun menentang saintifisme yang meniadakan aspek-aspek
irrasional.[24]
Arkoun
ingin membangun pemikiran keagamaan yang terbuka, tanpa sikap apriori teologis
terhadap semua pengalaman keagamaan manusia dengan menggunakan piranti keilmuan
modern. Sehingga ia memadukan pemikiran Islam dengan pemikiran Barat modern.
Berdasarkan
itu semua, maka jika kaum muslim ingin mencari kebenaran tentang dirinya, bukan
hanya harus mengkaji ulang kebenaran wahyu, tapi juga mengkaji ulang cara-cara
khas yang dengannya kebenaran itu dipahami, dirasakan, dielaborasi,
dijustifikasi, serta dihayati dalam konteks, waktu dan ruang goegrafis
tertentu. Hanya dengan cara ini setiap visi Islam bisa hidup, tidak membeku dan
menjadi toleran terhadap setiap perbedaan serta menggeliminasi adanya truth
claim dan pandangan esensial.
Dengan
demikian masing-masing generasi mempunyai kemungkinan sendiri untuk membangun
konstruksi dan pemahamnnya tentang Islam atau teks al-Qur’an dan
pemikiran-pemikiran lainnya.
E.
Kesimpulan
Mohammed
Arkoun adalah salah satu pemikir Islam yang memiliki keunikan tersendiri.Arkoun
memang berbeda dengan Hassan Hanafi yang bobot kalam dan filsafatnya sangat
kental, berbeda dengan Sayyid Hussein Nasr yang bobot tasawwuf dan filsafatnya
lebih menonjol, dan lebih-lebih lagi berbeda dengan model Ismail Raji al-Faruqi
yang lebih bernuansa islamisasi ilmu pengetahuan.
Arkoun
hadir dengan model pemikiran dan pendekatan serta metodologi yang canggih,
dimana ia berusaha menggabungkan dan menggunakan semua epistemologi para
tokoh-tokoh ternama dengan pendekatan dan metodologi dari berbagai cabang ilmu
sosial yang ada, mulai dari antropologi, sosiologi, sejarah, linguistik dan
filsafat. Yang terilhami dari ilmuan-ilmuan Perancis seperti Paul Ricoeur,
Michel Fouchault, Jack Derrida, Rolland Barthes, dan Piere Bourdieu. Selain
itu, ia juga dipengaruhi oleh Ferdinand de Saussure, Jack Goody, dan
produk-produk pemikiran Islam lainnya.
Daftar Pustaka
Arkoun,
Mohammed. Rethinking Islam, Common Question, Uncommon Answers, (Ouvertures
sur l’Islam), Robert D. Lee (editor dan translator), Oxford: Westview
Press, 1944.
Mustaqim,
Abdul & Sahiron Syamsuddin (ed.), Studi al-Qur’an Kontemporer,
Yogyakarta: Tiara Wacana, 2002
Santoso,
Listiyono (dkk). Epistemologi Kiri. Yogyakata: Ar-Ruzz Media, 2013
Sulhani
Hermawan, Mohammed Arkoun dan Kajian Ulang Pemikiran Islam, dalam Jurnal
DINIKA, Vol. 3, No. 1, Januari 2004
Watloly,
Ahaliab. Tanggung Jawab Pengetahuan (Mempertimbangkan Epistemologi secara
kultural). Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2001.
__ dan sumber-sumber lain dalam bentuk-bentuk artikel.
[1]
Ahaliab Watloly, Tanggung Jawab Pengetahuan (Mempertimbangkan Epistemologi
secara kultural), (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2001), hlm. 5
[2] Waryono Abdul
Ghafur, dalam Abdul Mustaqim & Sahiron Syamsuddin (editor), Studi
Al-Qur’an Kontemporer, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2002), hlm. 168.
[3]Berber adalah
sebutan untuk penduduk yang tersebar di Afrika bagian utara.
[4]Mohammed
Arkoun, Rethinking Islam, Common Question, Uncommon Answers, (Ouvertures sur
l’Islam), Robert D. Lee (editor dan translator), Oxford: Westview Press,
1944, hlm. Viii, sebagaimana dikutip dalam Sulhani dalam Dinika, Vol. 3,
No. 1, Januari 2004, hlm. 103.
[5]Waryono Abdul
Ghafur, dalam Abdul Mustaqim & Sahiron Syamsuddin (editor), Studi
Al-Qur’an Kontemporer.., hlm.168-169
[6] Salah satu
bahasa Berber yang diwarisi dari Afrika Utara dari zaman pra-Islam dan
pra-Romawi.
[7] Bahasa Arab
yang dibawa bersama ekspansi Islam sejak abad 1 Hijriah.
[8] Bahasa
Perancis ketika Aljazair berada dalam kekuasaan Prancis antara tahun 1830-1962.
[9]Listiyono
Santoso dkk, Epistemologi Kiri, (Yogyakata: Ar-Ruzz Media, 2013), hlm.
196.
[10]Mohammed
Arkoun, Rethinking Islam, Common Question, Uncommon Answers, Sebagaimana
dikutip dalam Sulhani dalam Dinika.., hlm. 103
[11]Waryono Abdul
Ghafur, dalam Abdul Mustaqim & Sahiron Syamsuddin (editor), Studi
Al-Qur’an Kontemporer.., hlm.169-170.
[13]Karyanya ini
adalah sebuah pengantar dan catatan-catatan tentang etika dari Tahdzib
al-Akhlaq Miskawaih.
[14] Arkoun, “Introduction”,
dalam Arkoun, Pour une critique de la raison islamique, hlm. 38, yang
dikutip oleh Sulhani Hermawan, hlm. 106.
[15] Waryono Abdul
Ghafur, dalam Abdul Mustaqim & Sahiron Syamsuddin (editor), Studi
Al-Qur’an Kontemporer.., hlm.172.
[16] Semiotika
adalah sains tentang tanda dan segala yang berhubungan dengannya: cara
berfungsinya (sintaks semiotik), hubungannya dengan tanda-tanda lain (semantics
semiotik), pengiriman dan penerimaannya oleh mereka yang menggunakannya (pragmatic
semiotik).
[17] Perlu
diketahui bahwa konsepnya ini merupakan kritik terhadap tradisi filsafat dan
linguistic Barat termasuk Saussure.
[18]Waryono Abdul
Ghafur, dalam Abdul Mustaqim & Sahiron Syamsuddin (editor), Studi
Al-Qur’an Kontemporer.., hlm.176-177.
[19] Dasar
epistemologi dan metodologi Arkoun diambil dari rasionalisme Descartes,
kritisisme Kant, strukturalisme de Saussure, semiotic Barthes, Hjemslev dan Greimas,
mitos Ricoeur, episteme dan wacana Foucault, dan deskontruksi Derrida.
[20] Mohammed
Arkoun, “Rethinking Islam Today”.., hal.206, sebagaimana dikutip oleh
Sulhani.., hlm 107.
[21] Waryono Abdul
Ghafur, dalam Abdul Mustaqim & Sahiron Syamsuddin (editor), Studi
Al-Qur’an Kontemporer.., hlm.179.
[22]Ibid, hlm.179-180.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar