Minggu, 08 Februari 2015

Kritik Epistemologis Mohammed Arkoun



Kritik Epistemologis Mohammed Arkoun

A.    Pendahuluan
Epistemologi merupakan salah satu istilah pokok dalam kajian filsafat, disamping istilah ontologi dan aksiologi. Berdasarkan pengertiannya, epistemologi dapat diartikan sebagai kajian yang menelaah tentang hakikat, jangkauan, pengandaian, dan pertanggungjawaban pengetahuan. Namun, epistemologi tidak hanya ditemukan secara terang-teranganan sebagai posisi atau ajaran mengenai pengetahuan. Sebagaimana setiap pemahaman mengenai suatu kenyataan tertentu, sikap dan tindakan yang dilakukan terhadapnya, serta tingkah laku yang berhubungan dengannya mengandaikan suatu filsafat atau teori tersembunyi tertentu, demikian pula setiap pengetahuan atau ilmu mengandaikan sebuah epistemologi tertentu yang mendasarinya. Sebagaimana seorang filosof berkewajiban mengungkap, menilai, dan mengembangkan atau mengoreksi pengandaian-pengandaian di dalam pemahaman mengenai kenyataan, demikian pula seorang epistemolog mempunyai kewajiban untuk menyelidiki pengetahuan atau ilmu untuk memaparkan, menganalisis pengandaian dasar yang menjadi latar belakangnya.[1]
Salah satu diantaranya adalah seorang tokoh filosof pemikir Islam kenamaan kelahiran Aljazair, Mohammad Arkoun. Dia berusaha melakukan kritik epistemologi baik terhadap para pemikir Islam maupun terhadap orientalis Baratdengan melakukan rekontruksi epistemologi. Untuk lebih jelasnya, apa, mengapa dan bagaimana kritikMohammad Arkoun dalam epistemologinya, akan dijelaskan lebih lanjut dalam makalah ini.


B.     Biografi Mohammed Arkoun
Mohammed Arkoun lahir pada tanggal 1 Februari 1928 di Taorit-Mimoun, Kabilia, Aljazair.[2]Keluarga Arkoun berdomisili di perkampungan Berber[3], yakni sebuah permukiman di kaki gunung Taorit-Mimoun, Kabilia, sebuah daerah di sebelah timur Aljir, Aljazair. Keluarga Arkoun sebagaimana keluarga Berber pada umumnya menggantungkan hidup dari hasil pertanian, ternak dan berdagang kerajianan tangan.Arkoun sejatinya memang berasal dari keluarga yang biasa-biasa saja dan disebutkan bahwa masyarakat Arkoun juga memiliki strata social yang rendah.[4]Mereka menggunakan bahasa Kabilia Berber sebagai bahasa ibu, dan bahasa Arab sebagai bahasa nasional.Sebelum ter-Arab-kan, mereka memakai bahasa non-Arab dalam pergaulan sehari-hari.
Nenek moyang Arkoun berada di Kabilia sejak sebelum Masehi.Daerah tersebut sejak lama merupakan daerah jajahan beberapa kerajaan kuat dan Negara sampai munculnya Negara modern Perancis.Semula mereka dikuasai oleh Imperium Yunani, kemudian ditaklukkan oleh bangsa Arab pada tahun 682 di bawah pimpinan Uqbah ibn Nafi’ pada masa kekhalifahan Yazid ibn Mu’awiyah.Wilayah itu kemudian berada di bawah kekuasaan Perancis sejak tahun 1830.Arkoun lahir ketika Aljazair masih berada di bawah kekuasaan Perancis. Karenanya, sejak awal, ia terdidik dalam budaya dan sistem pendidikan Perancis.[5]Latar ini dianggap pula turut mengarahkan alur pemikiran Arkoun.
Sejak kecil Arkoun telah memahami setidaknya tiga jenis bahasa, yaitu bahasa Kabilia[6] (sebagai bahasa ibu), bahasa Arab[7] (sebagai bahasa keagamaan), serta bahasa Perancis[8] yang telah berkembang di daerah tersebut.[9]Dari ketiganya, Arkoun menyadari bahwa bahasa bukan sekedar sarana teknis untuk mengekspresikan diri.Lebih dari itu bahasa mempunyai latar belakang dan nilainya sendiri (self value).Oleh sebab itulah Arkoun menyadari pula akan keterbatasan yang ada pada bahasa yang bersangkutan. Sebuah bahasa tidak jarang tidak mampu memuat makna bahasa lain.
Pendidikan dasar Arkoun dimulai di desa asalnya, dan kemudian melanjutkan sekolah menengah di kota pelabuhan Oran, sebuah kota utama di Aljazair bagian barat, sebuah daerah yang jauh dari Kalibia. Arkoun melanjutkan studi bahasa dan sastra Arab di Universitas Aljir (1950-1954), sambil mengajar bahasa Arab pada sebuah SMA di al-Harach, yakni sebuah daerah di pinggiran Aljazair.[10]
Setelah selesai dari Univesitas Aljir (1954)bertepatan dengan perang kemerdekaan Aljazair dari PerancisArkoun melanjutkan studi di Universitas Sorbonne, Perancis. Di Perancis, Arkoun masih bergelut pada bidang keilmuan yang sama, yaitu bahasa dan kesusastraan Arab. Arkoun menetap di Paris sejak saat itu.Sembari kuliah, Arkoun mengajar di sebuah SMA di Strasbourg (daerah di Perancis sebelah timur laut), dan diminta memberikan kuliah di Fakultas Sastra Universitas Strasbourg (1956-1959). Pada tahun 1961, Arkoun diangkat sebagai dosen di Universitas Sorbonne, Paris, hingga tahun 1969, saat ketika dia menyelesaikan pendidikan doktor di bidang sastra pada Universitas yang sama. Pada saat itu, Arkoun mengangkat tema humanism dalam pemikiran etis Miskawaih sebagai tema disertasinya. Selain mengajar di kampus tersebut, Arkoun juga mengajar di beberapa Universitas, seperti Universitas Lyon, University of California, Princeton University, Temple University, Universitas Katolik Louvain-la Neuve di Belgia, di Berlin, Kolumbia, Denver dan Amsterdam, Tunisia, Damaskus, Beirut, dan Teheran.[11]
Sekilas dapat kita amati bahwa pergumulan Arkoun di bidang bahasa menjadikan produk pemikirannya sangat kental dengan nuansa bahasa. Pengamatannya terhadap bahasa tersebut diperkaya dengan beberapa kajian mutakhir tentang bahasa melalui beberapa karya ilmuan, filsuf, antropolog dan teolog Barat.[12]
Ketiga bahasa yang dikuasai oleh Arkoun sejatinya merupakan representasi dari tiga tradisi, orientasi budaya, cara berpikir dan cara memahami yang berbeda. Bahasa Berber Kalibia merupakan alat untuk mengungkapkan berbagai tradisi dan nilai mengenai kehidupan sosial ekonomi yang sudah ribuan tahun usianya, bahasa Arab sebagai sarana untuk melestarikan tradisi keagamaan Islam di Aljazair dan di belahan dunia lainnya, serta bahasa Perancis sebagai bahasa administrasi pemerintahan serta alat untuk mengenal nilai-nilani dan tradisi keilmuan Barat, terutama Perancis.
Arkoun terbilang sebagai ilmuan yang produktif dalam dunia kepenulisan. Karyanya tersebar luas dalam format buku maupun tertuang dalam berbagai jurnal terkemuka, seperti Arabica (Leiden/Paris), Studia Islamica (Paris), Islamo-Christiana (Vatican), Diogene (Paris), Maghreb-Machreq (Paris), Ulumul Qur’an (Jakarta), dan di beberapa buku dan ensiklopedi.
Karya-karya Arkoun yang lain adalah Traite d’ethique (tradition francaise avec introduction et notes du Tahdhid al-Akhlaq)[13], Contribution a l’etude de l’humanisme arabe au IVe/Xe siècle: Miskawayh philosophe et historen (sumbangan terhadap pembahasan humanism Arab abad IV H/ X M: Miskawaih sebagai filosof dan sejarahwan), La pensee arabe (pemikiran Arab),Ouvertures sur l’islam (catatan-catatan pengantar untuk memahami Islam). Dan Pour une critique de la raison islamique (demi kritik nalar islami). Buku-bukunya antara lain: Aspects de la pensee musulmane calssique (aspek-aspek pemikiran Islam klasik), Deux Epitres de Miskawayh (dua surat Miskawaih), Discours coranique et pensee scientifique (wacana-wacana al-Qur’an dan pemikiran ilmiah), Selain itu juga terdapat karya terjemahan yang penting lainnya, seperti al-Fikr al-Islami; Qira’ah ‘Ilmiyyah, al-Fikr al-Islami, Naqd wa Ijtihad, al-Islam; Rethinking Islam, Common Questions Uncommon Answers, Arab Thought (Bahasa Inggris), Nalar Islam dan Nalar Modern: Pelbagai Tantangan dan Jalan Baru, Islam: Kemarin dan Esok, Berbagai Pembacaan al-Qur’andan lain-lain.
Karya-karya Arkoun tersebut banyak diilhami oleh ilmuan-ilmuan Perancis seperti Paul Ricoeur, Michel Fouchault, Jack Derrida, Rolland Barthes, dan Piere Bourdieu. Selain itu, ia juga dipengaruhi oleh Ferdinand de Saussure, Jack Goody, dan lain-lain.

C.    Epistemologi M. Arkoun
Sejak awal Arkoun terus mencoba pemahaman-pemahaman yang baru tentang Islam dan kaum Muslim dengan memakai teori-teori mutakhir yang berkembang di dunia Barat modern.Upaya tersebut dilakukan untuk memadukan unsur yang sangat mulia dalam pemikiran Islam dengan unsur yang sangat berharga dalam pemikiran Barat modern (rasionalitas dan sikap kritis). Dengan demikian, Arkoun berharap akanmuncul satu pemikiran yang bisa memberikan jawaban atas berbagai persoalan yang dihadapi oleh kaum Muslim akhir-akhir ini.[14]
Arkoun tumbuh bersamaan dengan perkembangan sains yang amat pesat, dan itu meliputi hampir semua ranah keilmuan.Hal ini pula yang menyebabkan banyaknya penggunaan istilah-istilah keilmuan bernuansa Barat dalam pemikiran dan karya Arkoun. Menurut Arkoun, umat Islam harus membuka diri terhadap perkembangan keilmuan Barat, salah satunya dengan memanfaatkan pemikiran-pemikiran mutakhir, sehingga keilmuan Islam tidak terkesan jumud. Lebih lanjut menurutnya, disiplin ilmu yang muncul belakangan di Barat tidak boleh diposisikan sebagai “ilmu bantu” saja, tetapi harus disikapi sebagai kekayaan intelektual yang harus dikaji dan diterapkan. Hal ini akan membantu kaum Muslim menjawab tantangan-tantangan sosial-kemasyarakatan yang terjadi.
Sebagaimana yang telah disebutkan bahwa Arkoun banyak terpengaruh oleh beberapa tokoh Barat dengan spesifikasi keilmuan masing-masing.Dalam mencetuskan sebuah pemikiran, Arkoun jelas mengambil ide dari tokoh-tokoh tersebut.Namun perlu dipahami bahwa dalam pengambilan ide tersebut, Arkoun tidak mencomotnya secara langsung, namun hanya sebagian saja dan terkadang memberikan makna dan pengertiannya sendiri.[15]
Arkoun “mengambil” konsep mitos dari Ricour melalui dua karyanya, Philosophie de la volonte (Filsafat Kehendak), dan Del’interpretation (Perihal Interpretasi). Konsep mitos ini diambil sebagai kelanjutan dari “pemungutannya” terhadap konsep bahasa dan semiotika milik Barthens dan de Saussure. Menurut Ricour, mitos adalah symbol sekunder yang menjelaskan symbol primer. Mitos digunakan untuk menjelaskan dari mana asal perbuatan manusia. Mitos adalah tidak sama dengan bahasa rasional, dan berperan penting dalam kehidupan manusia. Arkoun melanjutkan konsep mitos ini. Dia menjelaskan bahwa mitos merupakan salah satu unsur terpenting dari angan-angan sosial yang membangun kelompok-kelompok sosial. Berkaitan dengan al-Qur’an, Arkoun menilai bahwa al-Qur’an juga bersusunan mistis dan karenanya bisa berubah menjadi mitologi.
Dari de Saussure dan Barthens, Arkoun mengambil konsep semiotika.[16] Dalam pembahasannya, meskipun tidak semuanya, Arkoun banyak menggunakan analisis semiotic, meskipun akhirnya melampaui hal itu dan meloncat pada persoalan makna, pembentukan dan perubahannya, penafsiran makna dan perubahan pada penafsirannya.Arkoun berpendapat bahwa analisis semiotic bermanfaat untuk melihat teks sebagai suatu keseluruhan dan sebagai suatu system dari hubungan-hubungan intern. Dengan ini maka dalam mendekati teks seorang peneliti terlepas dari interpretasi tertentu sebelumnya atau pra-tanggapan lainnya. Selain itu, Arkoun juga mengambil konsep semiotis dari Derrida, meskipun pada bagian tertentu Arkoun lebih condong pada Saussure.
Dari Derrida, Arkoun mengambil konsep dekonstruksi.[17] Menurut Derrida, linguistik struktural Saussure telah mengembangkan konsep oposisi biner antara ucapan dan tulisan, makna dan bentuk, jiwa dan badan, dan lain-lain. Walaupun keduanya berdampingan, namun yang pertama lebih superior dari yang kedua. Dekonstruksi adalah upaya penyangkalan terhadap konsep oposisi tersebut. Bila dikaitkan dengan tulisan dan ucapan, maka tulisan merupakan prakondisi dari bahasa dan nada sebelum ucapan oral. Pada tahap selanjutnya, Arkoun menyebut istilah “apa yang tak terpikirkan” (unthinkable) dan “yang tak terpikir” (unthought).[18]
Arkoun juga mengambil konsep episteme dan wacana dari pemikir Perancis Foucault. Episteme adalah sistem pemikiran yang dengannya manusia menangkap kenyataan. Sedangkan wacana adalah cara manusia membicarakan kenyataan tadi. Setiap zaman memiliki orang dan lingkungan yang berbeda, sehingga episteme yang mereka miliki berbeda-beda bentuknya. Hal ini kemudian berimplikasi pada tingginya toleransi terhadap realitas heterogen dan plural di masyarakat.
Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa Arkoun “merasuki” berbagai disiplin ilmu dengan pendekatan dan metodologi yang variatif pula. Hal ini pula yang menjadikan pemikiran Arkoun menyentuh hampir semua cabang keilmuan Islam. Arkoun menjelaskan bahwa ia menyukai pendekatan historis, sosiologis, dan antropologis dengan perspektif epistemologi baru. Menurutnya, hanya dengan pendekatan-pendekatan tersebut dapat dilakukan pembebasan Islam dari postulat-postulat esensialis dan substansialis metafisika klasik.Namun bukan berarti Arkoun menyisihkan pendekatan teologis dan filosofis.[19]
Dengan berbagai konsep dan ide yang diambil Arkoun dari masing-masing tokoh tersebut, Arkoun membangun teori dan pemikirannya, untuk selanjutnya melakukan kritik terhadap seluruh kerangka pemikiran Islam. Kritik yang dibentuk oleh Arkoun memiliki sisi keterkaitan antara bahasa-pemikiran-ideologi-sejarah. Dengan menempatkan seluruh bangunan keilmuan peda tataran historis, maka semuanya tidak ada yang sakral, bisa dikritik, dan berubah serta dibongkar.
Arkoun menegaskan bahwa dirinya menggunakan metodologi historis-kritis yang menebarkan rasa ingin tahu secara modern, karena metodologi ini dinilainya dapat menelusuri studi tentang pengetahuan mistis yang tidak hanya dibatasi dengan mentalitas lama, yaitu dengan definisi-definisi yang diberikan oleh aliran sejarah positivistik yang diajarkan sejak abad ke-19.[20]
Arkoun berpendapat, pertentangan yang ada pada saat ini, di antaranya adalah klaim kebenaran teologis dari beberapa kalangan yang menyebut mereka sebagai orang beriman. Menurutnya, salah satu kelemahan yang nampak dalam keilmuan modern adalah literature yang miskin, serta seragam dan kadang-kadang cukup polemik dalam menggambarkan agama-agama wahyu. Untuk menghilangkan masalah-masalah tersebut, perlu ada perhatian lebih terhadap pengajaran dan studi sejarah terhadap pemaparan fakta-fakta sejarah yang naratif. Untuk itu Arkoun menyodorkan pendekatan-pendekatan semacam pendekatan historis, sosiologis, dan antropologis, untuk memperkaya pendekatan teologis dan filosofis, dengan menyisipkan keadaan-keadaan historis dan sosial yang selalu dipraktekkan di dalam Islam. Metode Arkoun ini disebutnya sebagai salah satu bentuk metode dekonstruksi, dan hanya mungkin dilakukan dengan epistemologi modern yang kritis.[21]
Metode dekonstruktif sendiri adalah sebuah fenomena baru di kalangan pemikir Arab kontemporer. Di sini Arkoun bergelut dengan pemikiran mereka.
Sederhananya, langkah Arkoun yang mengambil berbagai konsep keilmuan dari beberapa tokoh dengan bidang yang berbeda-beda pula, mengakibatkan bervariasinya metode dan pendekatan yang disodorkan oleh Mohammed Arkoun dalam pemikiran-pemikirannya.

D.    Implikasi bagi Pemikiran Islam
Dari uraian di atas tadi jelaslah bahwa bangunan pemikiran Arkoun adalah campuran dari berbagai epistemologi dari tokoh-tokoh ternama, sehingga bisa dinamakan hasil dari pemikirannya ini adalah gabungan dari teori-teori tersebut (gado-gado), kemudian memunculkan kesimpulannya sendiri.
            Sebagai Muslim yang dibesarkan dalam dunia yang berbeda, dan dengan bahasa yang ragam, maka dari itu Arkoun dianggap sebagai orang yang tahu dalam banyak hal baik dalam khazanah Islam itu sendiri maupun dalam menguasai ilmu-ilmu Barat. Sehingga penggabungan antara dunia Barat dan Islam adalah menjadi sifat utama pemikirannya. Karena itu, tidak mengherankan cakupan pemikirannya menjangkau berbagai persoalan dalam Islam, masalah etika kemanusiaan, kemasyarakatan, masalah pemahaman terhadap kitab suci dan kaitannya antara Islam dan kemodernan.[22]
Dengan latar belakangnya itu, menjadikan Concern Arkoun terfokus pada problematika bahasa dalam pengertiannya yang luas, bukan hanya sekedar alat kominikasi. Hubungan antara bahasa, pemikiran, sejarah dan kekuasaan. Menurut Arkoun, bahasa mempunyai keterkaitan erat dengan masyarakat dan pemikirannya. Artinya pembentukan rasio bukan hanya terjadi secara intrinsik, tapi juga ekstrinsik, yakni melalui faktor-faktor sosial politik dan relasi-relasi historis. Oleh karena itu ia berpendapat bahwa tidak ada rasio transedental yang universal. Yang ada hanyalah rasio-rasio yang dibatasi determinan-determinan sejarah. Arkoun ingin menunjukan  bahwa konstruksi  itu mempunyai lokus sosio-historisnya sendiri.
Berpijak dari bahasa itulah, Arkoun melakukan kritik episteme terhadap seluruh bangunan keilmuan islam dan orientalis Barat dengan dekonstruksi ala Derida. Menurut Arkoun, bangunan keilmuan Islam yang ada dan diwarisi sekarang, pada mulanya tidak bisa dilepaskan dari keterkaitan dengan ideologi resmi atau ideologi perlawanan, hal itu mengakibatkan pemikiran keagamaan menjadi tertutup dan dibatasi dengan sekat apriori teologis.[23]
Pada tataran inilah Arkoun melakukan kritik terhadap logosentrisme dalam Islam yang lahir akibat penerapan filasafat terhadap agama. Hal itu dikarenakan antara lain:
1.      Pemikiran Islam dikuasai oleh nalar dogmatis dan sangat terkait dengan kebenaran abadi (Tuhan).
2.      Nalar yang bertugas mengenali kebenaran telah menjadi sempit dan hanya berkuatat dalam wilayah tempat kelahirannya saja.
3.      Pemikiran Islam cendrung menutup diri dan tidak melihat matra kesejarahan, sosial, budaya, dan etnik sehingga cenderung menjadi satu-satunya wacana yang harus diikuti secara seragam dan memaksakan tindakan peniruan buta.
4.      Pemikiran Islam lebih mementingkan suatu wacana lahir yang terproyeksikan dalam ruang bahasa yang terbatas, sesuai kaedah-kaedah bahasa. Sedangkan wacana batin yang melampaui batas-batas logosentrisme cendrung diabaikan.
Adapun kritiknya terhadap tradisi orientalis Barat adalah bahwa orientalis barat hanya mendekati Islam melalui karya tulis para tokoh yang dianggap besar dan mewakili dan mereka sangat positivis sehingga mengingkari hal-hal yang berada diluar jangkauan manusia. Arkoun menentang saintifisme yang meniadakan aspek-aspek irrasional.[24]
Arkoun ingin membangun pemikiran keagamaan yang terbuka, tanpa sikap apriori teologis terhadap semua pengalaman keagamaan manusia dengan menggunakan piranti keilmuan modern. Sehingga ia memadukan pemikiran Islam dengan pemikiran Barat modern.
Berdasarkan itu semua, maka jika kaum muslim ingin mencari kebenaran tentang dirinya, bukan hanya harus mengkaji ulang kebenaran wahyu, tapi juga mengkaji ulang cara-cara khas yang dengannya kebenaran itu dipahami, dirasakan, dielaborasi, dijustifikasi, serta dihayati dalam konteks, waktu dan ruang goegrafis tertentu. Hanya dengan cara ini setiap visi Islam bisa hidup, tidak membeku dan menjadi toleran terhadap setiap perbedaan serta menggeliminasi adanya truth claim dan pandangan esensial.
Dengan demikian masing-masing generasi mempunyai kemungkinan sendiri untuk membangun konstruksi dan pemahamnnya tentang Islam atau teks al-Qur’an dan pemikiran-pemikiran lainnya.

E.     Kesimpulan
Mohammed Arkoun adalah salah satu pemikir Islam yang memiliki keunikan tersendiri.Arkoun memang berbeda dengan Hassan Hanafi yang bobot kalam dan filsafatnya sangat kental, berbeda dengan Sayyid Hussein Nasr yang bobot tasawwuf dan filsafatnya lebih menonjol, dan lebih-lebih lagi berbeda dengan model Ismail Raji al-Faruqi yang lebih bernuansa islamisasi ilmu pengetahuan.
Arkoun hadir dengan model pemikiran dan pendekatan serta metodologi yang canggih, dimana ia berusaha menggabungkan dan menggunakan semua epistemologi para tokoh-tokoh ternama dengan pendekatan dan metodologi dari berbagai cabang ilmu sosial yang ada, mulai dari antropologi, sosiologi, sejarah, linguistik dan filsafat. Yang terilhami dari ilmuan-ilmuan Perancis seperti Paul Ricoeur, Michel Fouchault, Jack Derrida, Rolland Barthes, dan Piere Bourdieu. Selain itu, ia juga dipengaruhi oleh Ferdinand de Saussure, Jack Goody, dan produk-produk pemikiran Islam lainnya.



Daftar Pustaka

Arkoun, Mohammed. Rethinking Islam, Common Question, Uncommon Answers, (Ouvertures sur l’Islam), Robert D. Lee (editor dan translator), Oxford: Westview Press, 1944.
Mustaqim, Abdul & Sahiron Syamsuddin (ed.), Studi al-Qur’an Kontemporer, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2002
Santoso, Listiyono (dkk). Epistemologi Kiri. Yogyakata: Ar-Ruzz Media, 2013
Sulhani Hermawan, Mohammed Arkoun dan Kajian Ulang Pemikiran Islam, dalam Jurnal DINIKA, Vol. 3, No. 1, Januari 2004
Watloly, Ahaliab. Tanggung Jawab Pengetahuan (Mempertimbangkan Epistemologi secara kultural). Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2001.
__ dan sumber-sumber lain dalam bentuk-bentuk artikel.







[1] Ahaliab Watloly, Tanggung Jawab Pengetahuan (Mempertimbangkan Epistemologi secara kultural), (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2001), hlm. 5
[2] Waryono Abdul Ghafur, dalam Abdul Mustaqim & Sahiron Syamsuddin (editor), Studi Al-Qur’an Kontemporer, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2002), hlm. 168.
[3]Berber adalah sebutan untuk penduduk yang tersebar di Afrika bagian utara.
[4]Mohammed Arkoun, Rethinking Islam, Common Question, Uncommon Answers, (Ouvertures sur l’Islam), Robert D. Lee (editor dan translator), Oxford: Westview Press, 1944, hlm. Viii, sebagaimana dikutip dalam Sulhani dalam Dinika, Vol. 3, No. 1, Januari 2004, hlm. 103.
[5]Waryono Abdul Ghafur, dalam Abdul Mustaqim & Sahiron Syamsuddin (editor), Studi Al-Qur’an Kontemporer.., hlm.168-169
[6] Salah satu bahasa Berber yang diwarisi dari Afrika Utara dari zaman pra-Islam dan pra-Romawi.
[7] Bahasa Arab yang dibawa bersama ekspansi Islam sejak abad 1 Hijriah.

[8] Bahasa Perancis ketika Aljazair berada dalam kekuasaan Prancis antara tahun 1830-1962.

[9]Listiyono Santoso dkk, Epistemologi Kiri, (Yogyakata: Ar-Ruzz Media, 2013), hlm. 196.

[10]Mohammed Arkoun, Rethinking Islam, Common Question, Uncommon Answers, Sebagaimana dikutip dalam Sulhani dalam Dinika.., hlm. 103
[11]Waryono Abdul Ghafur, dalam Abdul Mustaqim & Sahiron Syamsuddin (editor), Studi Al-Qur’an Kontemporer.., hlm.169-170.

[12]Ibid, hlm. 169.

[13]Karyanya ini adalah sebuah pengantar dan catatan-catatan tentang etika dari Tahdzib al-Akhlaq Miskawaih.
[14] Arkoun, “Introduction”, dalam Arkoun, Pour une critique de la raison islamique, hlm. 38, yang dikutip oleh Sulhani Hermawan, hlm. 106.

[15] Waryono Abdul Ghafur, dalam Abdul Mustaqim & Sahiron Syamsuddin (editor), Studi Al-Qur’an Kontemporer.., hlm.172.

[16] Semiotika adalah sains tentang tanda dan segala yang berhubungan dengannya: cara berfungsinya (sintaks semiotik), hubungannya dengan tanda-tanda lain (semantics semiotik), pengiriman dan penerimaannya oleh mereka yang menggunakannya (pragmatic semiotik).

[17] Perlu diketahui bahwa konsepnya ini merupakan kritik terhadap tradisi filsafat dan linguistic Barat termasuk Saussure.

[18]Waryono Abdul Ghafur, dalam Abdul Mustaqim & Sahiron Syamsuddin (editor), Studi Al-Qur’an Kontemporer.., hlm.176-177.

[19] Dasar epistemologi dan metodologi Arkoun diambil dari rasionalisme Descartes, kritisisme Kant, strukturalisme de Saussure, semiotic Barthes, Hjemslev dan Greimas, mitos Ricoeur, episteme dan wacana Foucault, dan deskontruksi Derrida.

[20] Mohammed Arkoun, “Rethinking Islam Today”.., hal.206, sebagaimana dikutip oleh Sulhani.., hlm 107.
[21] Waryono Abdul Ghafur, dalam Abdul Mustaqim & Sahiron Syamsuddin (editor), Studi Al-Qur’an Kontemporer.., hlm.179.

[22]Ibid, hlm.179-180.
[23]Ibid, hlm. 180

[24]Ibid, hlm. 181-182.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar